
Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Abu Mushlih
Banyak orang yang berkerut keningnya
ketika pertama kali mendengar kata ini. Bermacam reaksi muncul dari seseorang
ketika diingatkan tentang masalah ini. Ada yang menerimanya dan memperbaiki
amalan ibadahnya dengan hidayah taufik dari Allah Ta’ala. Ada pula yang terlalu
cepat menutup diri untuk memahaminya sehingga lebih sering berkata, “Ah… bisanya cuma
membid’ah-bid’ahkan.”
Adapula yang memang sudah tidak asing
dengan kata ini, tapi ternyata memiliki pemahaman yang salah dalam memaknainya.
Ketahuilah saudaraku! Pembahasan tentang bid’ah bukanlah
milik golongan tertentu. Bahkan setiap muslim harus mempelajarinya dan
mewaspadainya dan tidak menutup diri dari pembahasan ini. Karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
و شرّ الأمور محدثاتها، و كلَّ محدثة بدعة
“Dan seburuk-buruk
perkara adalah sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah.” (HR.
Muslim no. 867)
Dan sabda nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
قإنّ كلَّ محدثة بدعة و كلّ بدعة ضلالة
“Karena setiap perkara
yang baru (yang diada-adakan) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.
Tirmidzi dan Abu Daud)
Sama seperti pembahasan tentang kata
sunnah pada artikel yang lalu, maka sungguh pembahasan ini sangat (sangat)
penting, karena jika tidak memahaminya atau bahkan salah memaknainya, maka dapat
mengakibatkan kesalahan dalam beramal dan beribadah. Semoga Allah memberikan
kelapangan dalam dada-dada kita, untuk menerima kebenaran yang diajarkan oleh
Rasulullah shollallahu’alaihi
wa sallam.
Makna Bid’ah Secara
Bahasa
Makna
bid’ah secara bahasa adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
Penggunaan kata bi’dah secara bahasa ini di antaranya ada dalam firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ
“Katakanlah (hai
Muhammad), ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.”(Al Ahqaf [46]: 9)
Dan
juga firman-Nya,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
“Dialah Allah Pencipta
langit dan bumi.” (Al-Baqoroh [2]: 117)
Makna Bid’ah Secara
Istilah
Berdasarkan
definisi yang diberikan oleh Imam Syathibi, makna bid’ah secara istilah adalah
suatu cara baru dalam agama yang menandingi syari’at dimana tujuan dibuatnya
adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah.
Dari
definisi ini, kita perlu memperjelasnya menjadi beberapa poin.
Pertama, ’suatu cara baru dalam agama’. Hal ini berarti cara atau jalan baru tersebut
disandarkan kepada agama. Adapun cara baru yang tidak dinisbatkan kepada agama
maka itu bukan termasuk bid’ah. (akan dibahas lebih rinci di bawah).
Kedua, ‘menandingi syari’at’. Maksudnya amalan bid’ah mempersyaratkan amalan
tertentu yang menyerupai syari’at, sehingga ada beban yang harus dipenuhi.
Seperti misalnya puasa mutih, yasinan setiap hari kamis (malam jum’at), puasa
nisyfu sya’ban dan lain-lain, Perlu diperhatikan pula bahwa pada umumnya, setiap
bid’ah juga memiliki dalil. Namun, janganlah terjebak dengan dalil yang
diberikan, karena ada dua kemungkinan dari dalil yang diberikan. Pertama, dalil
tersebut bersifat umum namun digunakan dalam amalan khusus. Kedua, bisa jadi
dalil yang digunakan adalah palsu. Oleh karena itu, wahai saudaraku, menuntut ilmu agama sangat penting melebihi
kebutuhan kita terhadap makan dan minum. Ilmu agama dibutuhkan di setiap
tarikan nafas kita karena dalil dibutuhkan untuk setiap ibadah yang kita
lakukan. Merupakan kesalahan ketika kita melakukan ibadah terlebih dahulu baru
mencari-cari dalil. Inilah yang membuat pengambilan dalil tersebut menjadi
tidak tepat karena sekedar mencari pembenaran pada amalan yang sebenarnya bukan
termasuk syari’at.
Ketiga, ‘tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai
lebih dalam beribadah kepada Allah’.
Artinya, setiap bid’ah merupakan tindakan berlebih-lebihan dalam agama,
sehingga dengan adanya bid’ah tersebut maka beban seorang muslim (mukallaf)
akan bertambah. Salah satu contohnya mengkhususkan puasa nisyfu sya’ban,
padahal puasa ini tidak disyari’atkan dalam Islam. Sungguh merugi bukan? Kita
berlindung kepada Allah dari segala perbuatan sia-sia.
Mewaspadai Bid’ah
Dari
definisi yang telah disebutkan menunjukkan bid’ah tidak lain merupakan
perbuatan yang bertujuan menandingi syari’at. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maaidah [5]: 3)
Maka tidak perlu lagi bagi seseorang untuk
membuat cara baru dalam agama atau mencari ibadah-ibadah lain yang itu adalah
kesia-siaan. Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
منْ عمِل عملا ليس عليه اَمرنا فهو ردّ
“Barangsiapa yang
melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.”
Dalam riwayat lain, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس مِنه فهوردٌّ
“Barang siapa yang
membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya maka
tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan
hadits ini, ada tiga unsur yang membuat sesuatu dapat dikatakan sebagai bid’ah.
Pertama, mengada-adakan. Ini diambil dari lafadz man ahdatsa (من أحدث). Akan tetapi membuat sesuatu
yang baru bisa terjadi dalam perkara dunia ataupun agama. Maka diperlukan unsur
yang kedua.
Kedua, perkara baru tersebut disandarkan pada agama. Ini diambil dari lafadz fii amrina (في أمرنا). Unsur kedua ini perlu
dilengkapi unsur ketiga. Karena jika tidak, akan timbul pertanyaan atau
keraguan, “Apakah
semua perkara baru dalam agama tercela?”
Ketiga, perkara tersebut bukan bagian dari agama. Ini diambil dari lafadz ma laisa minhu (ما ليس مِنه). Artinya, tidak ada dalil yang
sah bahwa hal tersebut pernah ada.
Setiap Bid’ah Adalah
Sesat
Ketahuilah saudaraku. Setiap bid’ah adalah sesat. Hal ini berdasarkan
keumuman sabda Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam,
و شرّ الأمور محدثاتها، و كلَّ محدثة بدعة
“Dan seburuk-buruk
perkara adalah sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah.” (HR.
Muslim no. 867)
Dan sabda nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
قإنّ كلَّ محدثة بدعة و كلّ بدعة ضلالة
“Karena setiap perkara
yang baru (yang diada-adakan) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.
Tirmidzi dan Abu Daud)
Adapun
pembagian yang ada pada bid’ah, maka tetap menunjukkan kesesatan bid’ah
tersebut. Maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah
adalah sebuah kesalahan sebagaimana penulis jelaskan sebab-sebabnya dalam
artikel sebelumnya.
Imam Syathibi rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya pembagian bid’ah (yang
tetap menetapkan kesesatan seluruh bid’ah) yang dapat memperjelas kerancuan
yang ada di masyarakat. Yang pertama adalah bid’ah hakiki yang perkaranya lebih
jelas (kecuali bagi orang-orang yang taklid dan tidak mau belajar) karena
bid’ah hakiki tidak memiliki sandaran dalil syar’i sama sekali. Semisal
menentukan kecocokan seeorang untuk menjadi suami atau istri dengan tanggal
lahir atau melakukan ritual-ritual khusus dalam acara pernikahan yang tidak ada
landasannya dalam syari’at sama sekali. Adapun jika berkaitan dengan bid’ah
idhofi maka sebagian orang mulai rancu dan bertanya-tanya. Misalnya, bid’ah
dzikir berjama’ah, atau tahlilan. Banyak orang terburu-buru dengan mengatakan,“Masa dzikir dilarang sih?” atau “Kok membaca Al Qur’an dilarang?” Maka kita perlu (sekali lagi) memahami lebih dalam
tentang bid’ah ini.
Bid’ah idhofi ini mempunyai dua sisi,
sehingga apabila dilihat pada salah satu sisi, maka seakan-akan itu sesuai
dengan sunnah karena berdasarkan dalil. Namun bila dilihat dari sisi lain,
amalan tersebut bid’ah karena hanya bersandar kepada syubhat, tidak kepada
dalil atau tidak disandarkan kepada sesuatu apapun. Adapun bila dilihat dari
sisi makna, maka bid’ah idhofi ini secara asal memiliki dalil. Akan tetapi dilihat
dari sisi cara, sifat atau perinciannya, maka dalil yang digunakan tidak
mendukungnya, padahal tata cara amalan tersebut membutuhkan dalil. (Majalah
Al-Furqon edisi 12 tahun V). Maka jelas yang dilarang bukanlah dzikir atau
membaca Al-Qur’an untuk contoh dalam masalah ini. Akan tetapi, kebid’ahan
tersebut terletak pada tata cara, sifat atau perincian pada ibadah tersebut
yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan melafadzkan dzikir bersama-sama
dipimpin satu imam atau membaca Al-Qur’an untuk orang mati. Semuanya ini adalah
cara baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Catatan penting dalam masalah ini adalah
dalam perkara ibadah (yaitu apa-apa yang kita niatkan untuk mendekatkan diri
kita pada Allah Subhanahu wa Ta’ala), kita harus memenuhi dua syarat, yaitu
ikhlas hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai dengan yang dicontohkan
dan diperintahkan Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam.
Demikianlah saudaraku, sedikit pengantar untuk memahami tentang kata
bid’ah dan bahayanya. Pembahasan tentang bid’ah memiliki lingkup yang sangat
luas – yang dengan keterbatasan penulis – tidak dapat dituangkan seluruhnya
dalam tulisan kali ini. Untuk memperdalam pembahasan, silakan melihat kembali
kitab-kitab yang penulis jadikan rujukan. Semoga Allah Ta’ala mempermudah kita
dalam memahami pembahasan ini dan menerimanya dengan lapang dada serta
menjadikan kita orang-orang yang berusaha kuat menjauhi perkara baru dalam
agama. Aamiin
ya mujibas saailin.
Maraji’:
1. Majalah Al Furqon edisi 12 tahun V/rajab
1427
2.
Kajian
kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad oleh Ustadz Aris Munandar
3.
Ringkasan Al I’tisham – terj -, Syaikh Abdul Qadir As Saqqaf, Media Hidayah,
Cet I, thn 2003
***
Sumber : www.muslimah.or.id (dengan sedikit perubahan)
Judul Asli : Mengenal Kata Bid’ah
0 comments:
Post a Comment