Kalau ada seorang penceramah berkata di
atas mimbar: “Sungguh perbuatan syirik dan pelanggaran tauhid sering terjadi
dan banyak tersebar di masyarakat kita!”, mungkin orang-orang akan keheranan
dan bertanya-tanya: “Benarkah itu sering terjadi? Mana buktinya?”.
Tapi kalau berita ini bersumber dari
firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an, masihkah ada yang meragukan
kebenarannya? Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَا
يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ}
“Dan sebagian besar manusia tidak beriman kepada Allah,
melainkan dalam keadaan mempersekutukan-Nya (dengan sembahan-sembahan lain)” (QS Yusuf:106).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan arti ayat ini: “Kalau ditanyakan kepada
mereka: Siapakah yang menciptakan langit? Siapakah yang menciptakan bumi?
Siapakah yang menciptakan gunung? Maka mereka akan menjawab: “Allah (yang
menciptakan semua itu)”, (tapi bersamaan dengan itu) mereka mempersekutukan
Allah (dengan beribadah dan menyembah kepada selain-Nya)[1].
Semakna dengan ayat di atas Allah Ta’ala juga berfirman,
{وَمَا
أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ}
“Dan sebagian besar manusia tidak beriman (dengan iman
yang benar) walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS Yusuf:103).
Artinya: Mayoritas manusia walaupun kamu
sangat menginginkan dan bersunguh-sungguh untuk (menyampaikan) petunjuk
(Allah), mereka tidak akan beriman kepada Allah (dengan iman yang benar),
karena mereka memegang teguh (keyakinan) kafir (dan syirik) yang merupakan
agama (warisan) nenek moyang mereka[2].
Dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menegaskan hal ini dalam sabda beliau,
«لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ
قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ وَحَتَّى يَعْبُدُوا الأَوْثَانَ»
“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai beberapa qabilah
(suku/kelompok) dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik dan sampai
mereka menyembah berhala (segala sesuatu yang disembah selain
Allah Ta’ala)”[3].
Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan
bahwa perbuatan syirik terus ada dan terjadi di umat Islam sampai datangnya
hari kiamat[4].
Hakikat Syirik
Perbuatan syirik adalah menjadikan syarik (sekutu) bagi Allah Ta’ala dalam sifat rububiyah-Nya
(perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala yang khusus bagi-Nya, seperti mencipta, melindungi,
mengatur dan memberi rizki kepada makhluk-Nya) dan uluhiyah-Nya (hak untuk disembah dan diibadahi semata-mata
tanpa disekutukan). Meskipun mayoritas perbuatan syirik (yang terjadi di umat
ini) adalah (syirik) dalam sifatuluhiyah-Nya,
yaitu dengan berdoa (meminta) kepada selain Allah bersamaan dengan (meminta)
kepada-Nya, atau mempersembahkan satu bentuk ibadah kepada selain-Nya, seperti
menyembelih (berkurban), bernazar, rasa takut, berharap dan mencintai[5].
Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab menjelaskan hakikat perbuatan syirik yang diperangi oleh semua Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus oleh Allah Ta’ala,
beliau berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya tauhid
adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam beribadah. Inilah agama (yang dibawa) para Rasul
yang diutus oleh Allah kepada umat manusia.
Rasul yang pertama adalah (nabi) Nuh ‘alaihis salam yang
diutus oleh Allah kepada kaumnya ketika mereka bersikap ghuluw (berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan)
orang-orang yang shaleh (di kalangan mereka, yaitu) Wadd, Suwa’, Yaguts, Ya’uq
dan Nasr[6].
Rasul yang terakhir (yaitu) nabi
Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dialah yang
menghancurkan gambar-gambar (patung-patung) orang-orang shaleh tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah kepada kaum (orang-orang musyrik)
yang selalu beribadah, berhaji, bersedekah dan banyak berzikir kepada Allah,
akan tetapi mereka (berbuat syirik dengan) menjadikan makhluk sebagai perantara
antara mereka dengan Allah (dalam beribadah). Mereka mengatakan: “Kami
menginginkan dari perantara-perantara makhluk itu untuk mendekatkan diri kepada
Allah[7],
dan kami menginginkan syafa’at mereka di sisi-Nya”[8].
(Perantara-perantara tersebut adalah) seperti para malaikat, nabi Isa bin
Maryam, dan orang-orang shaleh lainnya.
Maka Allah mengutus nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperbaharui (memurnikan kembali) ajaran agama
yang pernah dibawa oleh nabi Ibrahim ‘alaihis salam (yaitu ajaran tauhid)
dan menyerukan kepada mereka bahwa (bentuk) pendekatan diri dan keyakinan
(seperti) ini adalah hak Allah yang murni (khusus bagi-Nya) dan tidak boleh
diperuntukkan sedikitpun kepada selain-Nya, meskipun itu malaikat atau nabi
utusan-Nya, apalagi yang selainnya”[9].
Contoh-Contoh
Perbuatan Syirik yang Banyak Terjadi Di Masyarakat
Perbuatan-perbuatan syirik seperti ini
sangat sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, bahkan perbuatan syirik
yang dilakukan oleh orang-orang di jaman Jahiliyah, sebelum datangnya Islam,
masih juga sering terjadi di jaman modern ini.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata:
“Perbuatan syirik yang terjadi di jaman Jahiliyah (juga) terjadi pada (jaman)
sekarang ini:
1- Dulunya
orang-orang musyrik (di jaman Jahiliyah) meyakini bahwa Allah Dialah Yang Maha
Pencipta dan Pemberi rizki (bagi semua mekhluk-Nya), akan tetapi (bersamaan
dengan itu) mereka berdoa (meminta/menyeru) kepada para wali (orang-orang yang
mereka anggap shaleh dan dekat kepada AllahTa’ala)
dalam bentuk berhala-berhala, sebagai perantara untuk (semakin) mendekatkan
mereka kepada Allah (menurut persangkaan sesat mereka). Maka Allah tidak
meridhai (perbuatan) mereka menjadikan perantara (dalam berdoa) tersebut,
bahkan Allah menyatakan kekafiran mereka dalam firman-Nya,
{وَالَّذِينَ
اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى
اللَّهِ زُلْفَى، إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ، إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ}
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah
(berkata): “Kami tidak menyembah mereka (sembahan-sembahan kami) melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.
Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka
perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada
orang-orang yang pendusta dan sangat besar kekafirannya” (QS az-Zumar:3).
Allah Ta’ala maha mendengar lagi maha dekat, Dia tidak butuh kepada
perantara dari makhluk-Nya. AllahTa’ala berfirman,
{وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ}
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah) bahwa Aku adalah maha dekat” (QS al-Baqarah:186).
Kita saksikan di jaman sekarang ini
kebanyakan kaum muslimin berdoa (meminta/menyeru) kepada wali-wali dalam wujud
(penyembahan terhadap) kuburan mereka, dengan tujuan untuk mendekatkan diri
mereka kepada Allah.
Maka berhala-berhala (di jaman
Jahiliyah) adalah wujud dari para wali (orang-orang yang mereka anggap shaleh
dan dekat kepada Allah Ta’ala) yang telah wafat menurut pandangan orang-orang
musrik (di jaman Jahiliyah), sedangkan kuburan adalah wujud dari para wali yang
telah wafat menurut pandangan orang-orang yang melakukan perbuatan Jahiliyah
(di jaman sekarang), meskipun harus diketahui bahwa fitnah (kerusakan/keburukan
yang ditimbulkan) dari (penyembahan terhadap) kuburan lebih besar dari fitnah
(penyembahan) berhala !
2- Dulunya
orang-orang musyrik (di jaman Jahiliyah) selalu berdoa kepada Allah semata di
waktu-waktu sulit dan sempit, kemudian mereka menyekutukan-Nya di waktu lapang.
Allah berfirman:
{فَإِذَا
رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا
نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ}
“Maka apabila mereka mengarungi (lautan) dengan kapal
mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan agama bagi-Nya; kemudian tatkala
Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali)
mempersekutukan (Allah), (QS
al-‘Ankabuut:65).
Maka bagaimana mungkin diperbolehkan
bagi seorang muslim untuk berdoa kepada selain Allah dalam waktu sempit dan
lapang (sebagaimana yang sering dilakukan oleh banyak kaum muslimin di jaman
ini)?[10].
1- Mempersembahkan
salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah Ta’ala,
seperti berdoa (memohon) kepada orang-orang shaleh yang telah mati, meminta
pengampunan dosa, menghilangkan kesulitan (hidup), atau mendapatkan sesuatu
yang diinginkan, seperti keturunan dan kesembuhan penyakit, kepada orang-orang
shaleh tersebut. Juga seperti mendekatkan diri kepada mereka dengan sembelihan
qurban, bernazar, thawaf, shalat dan sujud…Ini semua adalah perbuatan syirik,
karena Allah Ta’alaberfirman,
{
قُلْ إِنَّ
صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لا
شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ}
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu
baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (QS al-An’aam:162-163).
2- Mendatangi
para dukun, tukang sihir, peramal (paranormal) dan sebagainya, serta
membenarkan ucapan mereka. Ini termasuk perbuatan kafir (mendustakan) agama
yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal
kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama
yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”[12].
Allah Ta’ala menyatakan kekafiran para dukun, peramal dan tukang
sihir tersebut dalam firman-Nya,
{وَاتَّبَعُوا
مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ
الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ عَلَى
الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ
حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ
مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ
بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا
يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي
الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا
يَعْلَمُونَ}
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh
syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa
Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan
sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang
malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami
hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari
kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara
seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi
mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan
mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada diri mereka sendiri dan
tidak memberi manfaat. Padahal sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa
barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya
keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya
sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui.
(QS al-Baqarah:102).
Hal ini dikarenakan para dukun, peramal
dan tukang sihir tersebut mengaku-ngaku mengetahui hal-hal yang gaib, padahal
ini merupakan kekhususan bagi Allah Ta’ala,
{قُلْ لا
يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا
يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ}
“Katakanlah:”Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi
yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui
bilamana mereka akan dibangkitkan”
(QS an-Naml:65).
Selain itu, mereka selalu bekerjasama
dengan para jin dan setan dalam menjalankan praktek perdukunan dan sihir
mereka, bahkan para jin dan setan tersebut tidak mau membantu mereka dalam
praktek tersebut sampai mereka melakukan perbuatan syirik dan kafir kepada
Allah Ta’ala, misalnya mempersembahkan hewan qurban untuk para jin
dan setan tersebut, menghinakan al-Qur’an dengan berbagai macam cara, atau
perbuatan-perbuatan kafir lainnya[13].
Allah Ta’ala berfirman,
{وَأَنَّهُ
كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ
رَهَقًا}
“Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan)
manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin,
maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS al-Jin:6).
3- Berlebihan
dan melampaui batas dalam mengagungkan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang melarang hal ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Janganlah kalian berlebihan dan melampaui batas dalam
memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebihan dan melampaui batas dalam
memuji (nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku adalah hamba (Allah),
maka katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya”[14].
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba yang tidak mungkin beliau ikut
memiliki sebagian dari sifat-sifat yang khusus milik Allah Ta’ala, seperti mengetahui ilmu gaib, memberikan manfaat
atau mudharat bagi manusia, mengatur alam semesta, dan lain-lain. Allah Ta’ala berfirman,
{قُلْ لا
أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ
أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ
أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ}
“Katakanlah:Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi
diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah.
Dan seandainya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku akan melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya
dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi
peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (QS al-A’raaf:188).
Di antara bentuk-bentuk pengagungan yang
berlebihan dan melampaui batas kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
sebagai berikut:
- Meyakini bahwa beliau mengetahui
perkara yang gaib dan bahwa dunia diciptakan karena beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Memohon pengampunan dosa dan masuk
surga kepada beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena semua perkara ini adalah khusus
milik Allah Ta’ala dan tidak ada seorang makhlukpun yang ikut serta
memilikinya.
- Melakukan safar (perjalanan) dengan
tujuan menziarahi kuburan beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang melarang perbuatan ini dalam sabda beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh melakukan perjalanan (dengan tujuan
ibadah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil haram, Masjid nabawi dan Masjidil
aqsha”[15].
Dan semua hadits yang menyebutkan
keutamaan melakukan perjalanan untuk mengunjungi kuburan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits yang lemah dan tidak benar penisbatannya
kepada beliaushallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang ditegaskan oleh
sejumlah imam ahli hadits.
Adapun melakukan perjalanan untuk
melakukan shalat di Masjid nabawi maka ini adalah perkara yang dianjurkan dalam
Islam berdasarkan hadits yang shahih[16].
- Meyakini bahwa keutamaan Masjid nabawi
adalah karena adanya kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini jelas merupakan kesalahan yang sangat fatal,
karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallamtelah menyebutkan keutamaan shalat di
Mesjid nabawi sebelum beliau wafat.
4- Berlebihan
dan melampaui batas dalam mengagungkan kuburan orang-orang shaleh, yang
terwujud dalam berbagai bentuk di antaranya:
- Memasukkan kuburan ke dalam mesjid dan
meyakini adanya keberkahan dengan masuknya kuburan tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan
Nashrani, (kerena) mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai mesjid
(tempat ibadah)”[17].
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian
selalu menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shaleh (di antara) mereka
sebagai mesjid (tempat ibadah), maka janganlah kalian (wahai kaum muslimin)
menjadikan kuburan sebagai mesjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari perrbuatan
tersebut”[18].
- Membangun (meninggikan) kuburan dan
mengapur (mengecat)nya.
Dalam hadits yang shahih Jabir bin
Abdullah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengapur (mengecat) kuburan, duduk di
atasnya, dan membangun di atasnya”[19].
Perbuatan-perbuatan ini dilarang karena
merupakan sarana yang membawa kepada perbuatan syirik (menyekutukan Allah Ta’ala dengan orang-orang shaleh tersebut).
5- Termasuk
perbuatan yang merusak tauhid dan akidah seorang muslim adalah menggantungkan
jimat, yang berupa benang, manik-manik atau benda lainnya, pada leher, tangan,
atau tempat-tempat lainnya, dengan meyakini jimat tersebut sebagai penangkal
bahaya dan pengundang kebaikan.
Perbuatan ini dilarang keras oleh
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, “Barangsiapa
yang menggantungkan jimat maka sungguh di telah berbuat syirik”[20].
6- Demikian
juga perbuatan ath-Thiyarah/at-Tathayyur, yaitu menjadikan sesuatu sebagai sebab kesialan atau
keberhasilan suatu urusan, padahal Allah Ta’ala tidak menjadikannya sebagai sebab.
Perbuatan ini juga dilarang keras oleh
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sebda beliau,
“(Melakukan) ath-thiyarah adalah kesyirikan”[21].
7- Demikian
juga perbuatan bersumpah dengan nama selain Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Barngsiapa yang bersumpah dengan (nama)
selain Allah maka sungguh dia telah berbuat syirik”[22].
Nasehat
dan Penutup
Demikianlah sedikit dari contoh-contoh
perbuatan syirik yang terjadi di masyarakat, yang ini semua seharusnya
menjadikan seorang muslim selalu memikirkan dan mengkhawatirkan dirinya akan
kemungkinan terjerumus ke dalam perbuatan tersebut. Karena siapa yang mampu
menjamin dirinya dan keluarganya selamat dari keburukan yang terjadi pada
orang-orang yang hidup disekitarnya?
Kalau nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja
sampai mengkhawatirkan dirinya dan keluarganya terjerumus dalam perbuatan
menyembah kepada selain Allah (syirik), sebagaimana doa yang diucapkannya:
{وَاجْنُبْنِي
وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ}
“Jauhkanlah diriku dan anak cucuku dari (perbuatan)
menyembah berhala” (QS Ibrahim:35)
Padahal beliau ‘alaihis salam adalah nabi mulia yang merupakan panutan dalam
kekuatan iman, kekokohan tauhid, serta ketegasan dalam memerangi syirik dan
pelakunya.
Maka tentunya kita lebih pantas lagi
mengkhawatirkan hal tersebut menimpa diri kita, dengan semakin
bersunggh-bersungguh berdoa dan meminta perlindungan kepada-Nya agar
dihindarkan dari semua perbuatan tersebut dan sebab-sebab yang membawa
kepadanya.
Sebagaimana doa yang diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang
mulia, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu
‘anhu,
«اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ
أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ»
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon
ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari)”[23].
Juga tentu saja, dengan semakin giat
mengusahakan sebab-sebab yang semakin memantapkan akidah tauhid dalam diri
kita, yaitu dengan semakin semangat mempelajari ilmu tentang tauhid dan
keimanan, serta berusaha semaksimal mungkin mempraktekkan dan merealisasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله
وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 19 Jumadal tsaniyah1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim
al-Buthoni, MA
[1] Dinukil oleh imam Ibnu
Katsir dalam tafsir beliau (2/649), lihat juga kitab “Taisiirul Kariimir
Rahmaan” (hal. 406).
[3] HR Abu Dawud (no.
4252), at-Tirmidzi (no. 2219) dan Ibnu Majah (no. 3952), dinyatakan shahih oleh
imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
[6] Ini adalah nama-nama
orang shaleh dari umat nabi Nuh ‘alaihis salam yang kemudian setelah mereka
wafat, kaumnya menjadikan patung-patung mereka sebagai sembahan selain Allah
Ta’ala. Lihat QS Nuh:23.
[11] Pembahasan ini
diringkas dari kitab “Mukhaalafaat fit tauhiid” tulisan syaikh ‘Abdul ‘Aziz
ar-Rayyis, dengan sedikit tambahan dan penyesuaian.
[12] HR Ahmad (2/429) dan
al-Hakim (1/49), dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan
syaikh al-Albani dalam “Ash-Shahiihah” (no. 3387).
[13] Lihat kitab
“at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid” (hal. 317) dan kitab “Hum laisu bisyai”
(hal. 4).
[21] HR Abu Dawud (no.
3910), at-Tirmidzi (no. 1614) dan Ibnu Majah (no. 3538), dinyatakan shahih
oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Ash-Shahiihah” (no.
429).
[22] HR Abu Dawud (no.
3251) dan at-Tirmidzi (no. 1535), dinyatakan hasan oleh imam at-Tirmidzi
dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam “Ash-Shahiihah” (no. 2042).
[23] HR al-Bukhari dalam
“al-Adabul mufrad” (no. 716) dan Abu Ya’la (no. 60), dinyatakan shahih oleh
syaikh al-Albani.
0 comments:
Post a Comment