Kenapa kita perlu berbicara tentang ilmu syar'i? Tidak
diragukan lagi bahwasanya kebangkitan
Islam, dalam bentuk apapun juga, jika tidak
berdiri di atas ilmu syar'i yang benar, bersumber dari Al-Quran dan sunnah sesuai dengan pemahaman yang benar,
maka akan berakibat kehancuran dan
kemusnahan. Karena tanpa ilmu syar'i perbuatan laksana bulu diterpa angin. Terkadang digerakkan ke
kanan oleh perasaan hati yang kering
dari ilmu syar'i, terkadang pula condong ke kiri oleh semangat membabi buta. sehingga kebangkitan
seperti ini berakhir dengan keruntuhan
dalam waktu yang sangat singkat.
Berbeda dengan semua
itu, apabila seorang pemuda dibina untuk menuntut ilmu syar'i yang sesuai dengan dalil-dalil syar'i dan fenomena
Rabbani, lalu mengamalkan isinya dan berpegang
teguh dengannya, maka kebangkitan seperti ini akan tumbuh sedikit demi sedikit. Mulai tumbuh dan
berkembang hingga mencapai masa
matangnya. Setelah itu akan berbuah yang baik dan masak, sebagaimana firman Allah 'azzawajalla:
"Dan tanah yang baik,
tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh
merana. Demikianlah kami mengulangi
tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur." (Al-A'raf: 58)
Adalah penting bagi kita untuk berbicara mengenai motivasi belajar ilmu
syar'i mengingat kita tengah berada di
zaman yang semangatnya sudah mati, sehingga keingainan belajar ilmu syar'i
semakin melemah dan kemauan untuk belajar dan mengajarinya semakin menurun.
Semoga Allah merahmati Ibnu Jarir Ath-Thabrani. Suatu saat ia pernah berkata kepada muridnya,
"Apakah kalian siap untuk menulis
sejarah?" para murid bertanya, "Berapa lembar?" Ibnu Jarir berkata, "Tiga puluh ribu lembar."
Mereka berkata, "Ini suatu yang sulit
yang menghabiskan seluruh umat." Ibnu jarir berkata, "la haula
wala quwata illa billah, semangat sudah
mati." (lihat Tarikh Baghdad, Khatib
Al-Baghdady, hal: 2)
Lantas apa sekiranya yang akan dikatakan Ibnu Jarir ketika menjumpai masa kita ini, yang
seseorang tidak bisa memaksa dirinya
untuk menulis atau menghafal tiga puluh
lembar?
Pendapat Ulama Salaf Mengenai Ilmu Syar'i
Imam Ahmad bin Hambal
berkata, "Orang-orang lebih butuh kepada ilmu melebihi kebutuhannya akan makanan dan minuman. Yang
demikian itu karena seseorang terkadang
hanya butuh kepada makan dan minum hanya sekali atau dua kali saja. Sementara kebutuhan dia
terhadap ilmu sejumlah detak
nafasnya." (lihat Tahdzibu
Madarijis Salikin, Ar-Rasyid)
Imam Syafi'i pernah
ditanya, "Bagaimana semangat anda untuk ilmu?" Beliau menjawab, "Saya mendengar kalimat yang
sebelumnya tidak pernah saya dengar,
maka anggota tubuh saya yang lain ingin memiliki pandangan untuk bisa menikmati ilmu tersebut sebagaimana yang
dirasakan telinga." Lalu ditanya,
"Bagaimana kerakusan anda kepada ilmu?" Beliau menjawab, "Seperti rakusnya orang penimbun harta,
yang mencari kepuasan dengan
hartanya." "Bagaimana anda mencarinya?" beliau menjawab,
"Sebagaimana seorang ibu mencari
anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki anak lain, selain dia." (lihat Tawaalit
Ta'sis bi Manaqibi Muhammad bin Idris,
Ibnu Hajar AL-Asqalani, hlm 106)
Keutamaan Ilmu Syar'i
Ilmu syar'i
dimuliakan oleh Allah dengan beberapa kelebihan, dan dikhususkan dengan berbagai kekhususan. Allah tidak
memberikan kelebihan dan kekhususan itu
pada ibadah-ibadah lainnya. Perhatikanlah wahai saudaraku yang tercinta, tentang kemuliaan ilmu syar'i
dan keutamaannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,:
"Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka
Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga." (HR. Muslim)
Syaikh Abdurrahman
As-Sa'di ketika mengomentari hadits di atas berkata, "Setiap jalan, baik konkret maupun
abstrak yang ditempuh oleh ahlul ilmi
sehingga membantunya mendapatkan ilmu, maka ia termasuk ke dalam
sabda Nabi, "Barangsiapa menempuh
jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju Surga." (lihat Kitab Fatawa As-Sa'diyah, As-Sa'di, 1/623)
Allah memerintahkan rasul-Nya untuk berdoa dan meminta
kepada-Nya agar ditambahkan ilmu yang bermanfaat. Allah berfirman,
Dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan." (Thaha: 114)
Allah tidak pernah
memerintahkan untuk berdoa meminta tambahan terhadap sesuatu kecuali ilmu syar'i. Karena
keutamaan, kemuliaan dan kedudukan ilmu
itu tinggi di sisi Allah.
Allah memerintahkan manusia untuk kembali kepada orang-orang yang berilmu,
bertanya kepada mereka tentang
permasalahan agama, dan menjadikan perbuatan itu sebagai kewajiban, sebagaimana firman-Nya,
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."
(An-Nahl:43)
Selanjutnya, karena
kemuliaan ilmu, Allah membolehkan kita untuk memakan hasil buruan anjing yang terlatih (untuk berburu)
dan mengharamkan memakan buruan anjing
yang tidak terlatih. Dalil ini menunjukkan bahwa binatang menjadi mulia karena ilmu, dan diberi
kedudukan yang berbeda dengan yang tidak
berilmu. Bagaimana dengan anak Adam? Allah Berfirman,
Mereka menanyakan
kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan
(buruan yang ditangkap) oleh binatang
buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah
dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya).
dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (Al-Maidah: 4)
Bayangkan, seandainya tidak karena keutamaan ilmu, niscaya
hasil buruan anjing yang terlatih dan tidak terlatih akan sama.
Ilmu syar'i adalah
warisan Nabi. Khatib Al-Bagdadi menyebutkan seorang Arab Badui yang melintas ketika Abdullah bin
Mas'ud mengajarkan hadits kepada para
muridnya yang berkumpul di sekelingnya. Badui itu berkata, "Untuk apa mereka berkumpul?" Ibnu Mas'ud
menjawab, "Mereka bekumpul untuk
bagi-bagi warisan Nabi." (lihat Syarafu Ashabil Hadits, Khatib Al-Baghdadi)
Hal ini sejalan dengan sabda Nabi,
"Keutamaan orang
berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan purnama dibanding semua bintang. Sesungguhnya
ulama itu pewaris Nabi. Seorang Nabi
tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi ia mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya
maka ia telah mengambil bagian yang
banyak." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan disahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami', No 4212)
Adalah hak Beliau untuk
dijaga warisannya dari kebinasaan dan kemusnahan. Semua ini tidak
bisa dilakukan kecuali mempelajari ilmu
syar'i dan meraihnya.
Bukti kemuliaan ilmu
di sisi Allah adalah pahala mengajarkan ilmu syar'i akan sampai kepada orang yang mengajarkannya,
meskipun dia telah mati dan berada di
dalam kuburan. Seakan-akan mengalirnya pahala ilmu itu setelah kematiannya adalah kehidupan kedua baginya.
Dari Abu Hurairah, bahwasanya rasulullah
bersabda,
"Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga
perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan (orang tuanya)." (HR.Bukhari & Muslim)
[B]Hukum Menuntut Ilmu Syar'i[/B]
Tidak semua hukum
menuntut ilmu dalam setiap keadaan adalah sunnah. Yakni, diberikan pahala bagi pelakunya dan tidak
disiksa bagi yang meninggalkannya. Ada
beberapa keadaan yang menuntut ilmu menjadi sesuatu yang wajib ‘ain bagi setiap orang, dan ia
akan berdosa bila tidak melakukannya,
sebagaimana sabda Nabi, "Menuntut ilmu adalah wajib bagi seorang muslim." (HR. Muslim)
Kewajiban dalam hal ini berbeda pada setiap orang sesuai dengan kedudukannya.
Kewajiban seorang pemimpin mempelajari
ilmu tentang rakyatnya tidak sama dengan
kewajiban seorang suami pada keluarga
dan tetangganya. Kewajiban pedagang untuk
mempelajari ilmu tentang jual beli tidak sama dengan mereka yang bukan pedagang. Intinya adalah harus disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing.
Seorang muslim wajib mempelajari ilmu terhadap sesuatu pekerjaan yang akan dilakukannya,
yang mana tanpa ilmu, bisa
menghalanginya dalam melakukan sesuatu tersebut dengan benar. Misalnya, ketika seseorang hendak mengerjakan shalat,
maka ia harus mempunyai ilmu tentang
shalat, jika tidak maka ketidaktahuannya tentang shalat akan menghalanginya untuk dapat shalat dengan cara
yang benar. Apabila ia mempunyai harta
yang harus di zakatkan dan sudah terpenuhi persyaratan wajib zakat, maka wajib baginya mengkaji
hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat.
Begitulah seterusnya dalam setiap urusan seperti juga puasa, haji, muamalah dan lainnya.
Dalam keadaan yang lain,
menuntut ilmu bisa menjadi fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang
harus dilakukan oleh umat secara umum.
Bila tidak ada yang melakukannya atau
untuk bisa mewakilinya, maka semua umat Islam akan berdosa. Dan ada kalanya menuntut ilmu itu hanya dihukum
sebagai sunnah saja.
Kriteria Ilmu Syar'i
1. Ilmu syar'i yang benar adalah ilmu yang diambil dari Al-Quran
dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman
Sholafush sholeh (generasi sahabat dan
tabi'in serta tabi' tabi'in)
2. Ilmu syar'i adalah ilmu yang mengantarkan pemiliknya untuk taat kepada
Allah, merasa diawasi oleh-Nya, takut
kepada-Nya, dalam keadaan sendiri ataupun bersama orang lain. Abdullah bin Mas'ud berkata,
"Bukanlah ilmu dengan banyaknya
riwayat, tetapi ilmu adalah rasa takut (kepada Allah). (lihat al-Fawaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
3. Ilmu syar'i yang harus kita raih adalah ilmu yang mendorong pelakunya untuk
beramal dan mempraktekkan ilmunya, bukan
sebatas pengetahuan atau penambah wawasan, atau sekedar meraih jabatan dan ijazah. Jangan lupa
bahwasanya ilmu tanpa amal bagaikan
pohon tanpa buah. Buah ilmu yang sebenarnya adalah mengamalkan ilmu itu.
Sumber : http://www.dareliman.or.id/
0 comments:
Post a Comment