Oleh Aboe
Zaid Romadhoni
Muroja’ah
oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Saudaraku
pembaca, sebagai seorang muslim, pasti tidak asing lagi mendengar kata Tauhid.
Sebuah kata yang sangat penting dan urgen di dalam agama Islam. Tetapi, betapa
banyak kaum muslimin yang meremehkan kata tersebut. Oleh karena itu, tidak ada
salahnya jika kita akan sedikit mengulang dan membahas tentang kedudukan dan
keutaman tauhid dalam agama Islam, dengan harapan kita semakin cinta akan agama
ini dan semakin bersemangat dalam memahami, mengamalkan, dan kemudian
mendakwahkanya. Atau minimal dapat menyegarkan kembali ingatan kita
akan pentingnya kalimat At-Tauhid dalam diri kita.
Tujuan Diciptakannya
Jin dan Manusia Adalah untuk Menauhidkan Allah
Sesungguhnya,
Allah menciptakan seluruh alam semesta termasuk di dalamnya jin dan manusia
adalah hanya untuk beribadah kepada-Nya. Allah Ta’ala telah berfirman dalam
Al-Qur’an Al-Karim, “Dan
tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, melainkan hanya untuk beribadah
kepada-Ku” (Adz-Dzariyat: 56).
Inilah hakikat diciptakannya jin dan manusia, yaitu hanya untuk beribadah
kepada Allah saja tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Sebab,
tauhid hanya kepada Allah saja, karena syarat diterimanya suatu ibadah/ amalan
adalah ikhlas kepada Allah merupakan hak Allah yang harus ditunaikan oleh
setiap manusia. Setiap manusia harus mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dan
mengikuti tuntunan Rasulullah. Jika seseorang
beribadah kepada selain Allah,
maka ia telah berbuat syirik kepada Allah dan hal itu mengeluarkannya dari
Dienul Islam. Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku hanya
menyembah tuhanku dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya.” (Al-Jin:
20). Maka, perhatikanlah wahai kaum Muslimin!
Tauhid,
Merupakan Inti Dakwah Para Rasul
Allah
mengutus setiap rasul kepada setiap ummatnya untuk memulai dakwahnya kepada
tauhid. Karena hal ini merupakan perintah Allah yang harus
mereka sampaikan kepada ummatnya. Allah berfirman, “Dan Kami tidak mengutus
seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya
tidak ada Tuhan (yang benar untuk disembah) melainkan Aku, maka sembahlah
olehmu sekalian akan Aku’.” (Al-Anbiyaa’: 25).
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam ketika
berdakwah di Makah selama tiga belas tahun beliau mengajak kaumnya untuk
mengesakan Allah saja (tauhid), tidak kepada yang lain. Di antara wahyu yang
diturunkan kepada beliau ketika itu adalah firman Allah dalam Surah Al-Jin ayat
20 yang telah disebutkan di atas. Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammendidik para Shahabat agar senantiasa memulai
dakwahnya dengan tauhid. Ketika Rasul mengutus shahabat Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘anhu berdakwah ke Yaman, beliauShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Hendaknya yang pertama kali
kamu serukan kepada mereka adalah bersaksi, ‘Sesungguhnya tidak ada Ilah/
sesembahan (yang benar untuk disembah) kecuali Allah’, Dalam riwayat lain
disebutkan, ‘Agar mereka mengesakan Allah’.”(Muttafaq
‘alaih). Jadi, setiap rasul memulai dakwahnya dengan tauhid, memurnikan
ibadahnya hanya kepada Allah saja, dan menjauhi syirik. Maka, wajib bagi
siapapun untuk memulai dan memprioritaskan dakwahnya dengan tauhid, tanpa
menafikan (meniadakan) dakwah kepada syari’at yang lainnya.
Sumber
Keamanan Manusia dan Ketenteraman dengan Bertauhid
Para
Ahli Tauhid hatinya selalu tenang dan aman, sebab mereka tidak pernah takut
kecuali kepada Allah saja. Ahli Tauhid merasa aman ketika manusia ketakutan dan
merasa tenang ketika mereka kalut. Allah
berfirman,
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan imam mereka dengan
kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82). Ayat
ini memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman yang menauhidkan
Allah. Mereka yang tidak mencampuradukkan antara keimanan dengan kesyirikan,
sungguh mereka akan mendapatkan keamanan yang sempurna dari Allah. Keamanan ini
bersumber dari dalam jiwa, bukan oleh penjagaan manusia atau pihak keamanan.
Dan keamanan yang dimaksud adalah keamanan di dunia dan akhirat. Sebab, Ahli
Tauhid mengetahui bahwa kezholiman yang terbesar adalah syirik kepada Allah
sebagaimana penjelasan Rasulullah ketika para shahabat bertanya tentang maksud
dari ayat di atas dalam hadits dari shahabat Abdullah bin Mas’udradhiallahu ‘anhuma. Abdullah
bin Mas’ud meriwayatkan, “Ketika ayat ini turun (Al-An’am: 82), banyak umat
Islam yang merasa sedih dan berat. Mereka berkata siapa di antara kita yang
tidak berlaku zhalim kepada dirinya sendiri? Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab:“Yang dimaksud bukan (kezhaliman) itu, tetapi syirik.
Belumkah kalian mendengar nesihat Luqman kepada puteranya, ‘Wahai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah (syirik) benar-
benar suatu kezhaliman yang besar’.(Luqman: 13)”. (Muttafaq ‘alaih). Sungguh, para Shahabat Nabi sangat
takut jika diri mereka berbuat zhalim (syirik) kepada Allah, maka pakah kita
tidak merasa takut jika kita berbuat syirik kepada Allah?? Ayat ini merupakan
kabar gembira bagi setiap orang yang selalu meninggikan Kalimatut Tauhid, yang
tidak mencampuradukkan antara keimanan dan kesyirikan, sungguh mereka akan
mendapat pertolongan dan keamanan dari siksa Allah di akhirat.
Sebagai
Pembawa Kebahagiaan dan Pelebur Dosa
Seorang
ahli tauhid yang memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah saja dan menjauhi
segala praktik kesyirikan, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan yang sejati bagi
dirinya, dan menjadi penyebab bagi penghapusan segala dosanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan (yang benar untuk disembah) kecuali Allah semata, tiada sekutu
bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang
disampaikan-Nya lepada Maryam serta ruh daripada-Nya, dan (bersaksi pula bahwa)
surga hádala benar adanya dan Neraka pun benar adanya maka Allah pasti
memasukkannya ke dalam surga, apapun amalan yang diperbuatnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, siapa saja
yang murni aqidah dan tauhidnya, tanpa mengotorinya dengan kesyirikan, maka
Allah menjanjikan Surga kepadanya. Walaupun, sebagian amalannya terdapat dosa
dan maksiat. Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah berfirman: “Hai anak Adam, seandainya engkau
datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau tidak menemui-Ku
dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku sedikitpun, niscaya Aku berikan kepadamu
ampunan sepenuh bumi pula.” (H.R. Tirmidzi dan adh-Dhayya’, hadits hasan). Wahai
kaum Muslimin, seandainya kita menemui Allah dengan membawa dosa dan maksiat
sepenuh bumi, tetapi kita meninggal dalam keadaan bertauhid, insya Allah,
segala dosa kita akan diampuni oleh Allah, dan pasti masuk surga dan tidak akan
kekal di neraka.
Hak
Allah yang Pertama dan Terakhir yang Harus Ditunaikan Hamba-Nya
Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak
mengampuni dosa syirik, dan Allah mengampuni dosa selain itu bagi orang-orang
yang Dia kehendaki” (An
Nisaa’: 116). Sehingga syirik menjadi larangan yang terbesar. Maka, tauhid
merupakan perintah yang paling besar, sebab tauhid merupakan lawan dari tauhid.
Oleh karena itu, setiap manusia wajib menauhidkan Allah. Allah menyebutkan
kewajiban ini sebelum kewajiban lainnya yang harus ditunaikan oleh hamba. Allah Ta’ala berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah pada kedua orang
tua” (An Nisaa’: 36). Kewajiban
ini lebih wajib daripada semua kewajiban, bahkan lebih wajib daripada berbakti
kepada orang tua. Allah berfirman, “Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu
untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (Luqman : 15). Sehingga seandainya orang tua memaksa
anaknya untuk berbuat syirik maka tidak boleh ditaati dengan cara yang baik dan
lemah lembut.
Sebagaimana
telah dijelaskan di awal risalah ini, Rasul memerintahkan para utusan dakwahnya
agar menyampaikan tauhid terlebih dahulu sebelum yang lainnya. Yaitu, Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepada Mu’adz bin Jabal rodhiyallohu
ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan
ialah agar mereka menauhidkan Allah.”
(riwayat Bukhari dan Muslim). Selain itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
juga bersabda, “Barang
siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illallah niscaya masuk surga”(riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al
Albani dalam Irwa’ul
Gholil). Dua hadits di atas menjadi dalil bahwa
tauhid merupakan kewajiban yang paling pertama yang harus ditunaikan oleh
setiap manusia pun menjadi kewajiban yang terakhir bagi setiap umat. Oleh
karena itu, bersyukurlah bagi siapa saja yang senantiasa menauhidkan Allah, dan
semoga kita semua mati dalam keadaan bertauhid kepada Allah, tanpa syirik
sedikitpun.
Bagaimana
cara menauhidkan Allah?
Setelah
kita mengetahui bahwa tauhid memiliki keutamaan dan kedudukan yang tinggi di
dalam Islam, maka wajib bagi kita untuk selalu menauhidkan Allah, memurnikan
syahadatain Laa
ilaaha illallah Muhammadar Rasuulullah, dengan
cara mempelajari atau mengilmuinya, yaitu dengan mempelajari Kitabullah
(Al-Qur’an) dan Sunnah (Hadits) Rasulullah sesuai dengan pemahaman para
Shahabat Nabi. Mengapa harus pemahaman Shahabat Nabi, dan bukan yang lainya??
Karena Allah ‘Azza
wa Jalla telah berfirman, “Orang-orang yang terdahulu
(masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun telah ridha
kepada Allah. Allah telah menyiapkan bagi mereka surga-surga yang di bawahnya
mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah
kemenangan yang besar” (At Taubah: 100). Para Shahabat Radhiallahu ‘anhum yang telah dijanjikan Surga oleh Allah, menjadikan
aqidah sebagai ruh dalam menjalankan segala aktivitas mereka, termasuk ketika
jihad melawan orang kafir. Kemenangan selelu diraih oleh pasukan Islam ketika
berperang meninggikan kalimat Tauhid melawan orang kafir. Sebab, para Shahabat
hanya menjadikan Allah saja sebagai penolong mereka. Maka, beruntunglah
orang-orang yang mengikuti Muhajirin dan Anshar (para Shahabat) dalam segala
hal termasuk masalah aqidah. Semoga Allah mengumpulkan kita di Jannah-Nya bersama
para nabi dan rasul, dan ahli tauhid (umat Islam).
Sedangkan
dalil untuk mengilmui/ mempelajari tauhid (Laa ilaaha illallah) sebagaimana
firman Allah, “Maka
ketahuilah, bahwa tidak ada sesembahan (yang benar untuk disembah) selain
Allah, dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin,
laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat
tinggalmu.”(Muhammad: 19). Juga firman-Nya, “Dan perumpamaan-perumpamaan ini
Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang yang
berilmu.” (Al-‘Ankabut: 43). Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan berilmu
tentang Laa ilaaha Illallah, maka dia pasti masuk Surga.” (H.R. Ahmad, Shahih). Maka, kita wajib mengilmui makna
yang diinginkan dari kalimat tersebut, baik yang dinafikan (ditolak) maupun
yang ditetapkan, dan kemudian berusaha mengamalkannya.
Namun,
sangat disayangkan betapa banyak ummat Islam di zaman ini yang meremehkan dan
lalai, bahkan bodoh dalam masalah aqidah!! Ini merupakan suatu musibah besar
bagi Ummat Islam!! Sehingga, pantaslah kekalahan selalu diderita oleh
umat Islam pada saat ini. Semoga hal ini menjadi pelajaran bagi mereka yang mau
berpikir. Wallaahu A’lam
bish-Shawab.
[Disadur dari Buletin Al-Atsary, diterbitkan oleh Forum Studi Islam Al-Atsary
Jatinangor, Edisi 1/ tahun I/ 8 Jumadil Ula 1428 H/ 25 Mei 2007 M]
0 comments:
Post a Comment