Sedih rasanya melihat dua
bangsa berseteru, saling membanggakan diri dan mencaci yang
lain, bahkan ada yang menyuarakan peperangan, padahal keduanya adalah negeri
kaum muslimin. Lebih miris lagi, perseteruan ini
didasari oleh hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika
demikian adanya, bagaimana mungkin umat Islam menjadi kuat dan kokoh?
Konsep
Cinta dan Benci Dalam Islam
Dalam Islam dikenal konsep Wala wal Bara’ (cinta dan benci) yang merupakan konsekuensi dari iman
yang benar. Inti ajaran Islam adalah mengajak ummat manusia untuk beribadah
kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala semata. Konsekuensinya, seorang mukmin
akan mencintai segala bentuk peribadatan dan ketaatan kepada Allah semata dan
mencintai orang-orang yang melakukan demikian.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam juga bersabda: “Orang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci
sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah,
imannya telah sempurna”
(HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Konsekuensi lain adalah kebalikan dari
itu, seorang mukmin akan membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah
dan maksiat, serta membenci orang-orang yang melakukan demikian. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)
Ringkasnya, seorang mukmin sejati
mencintai orang-orang yang menyembah Allah Ta’ala semata dan melakukan ketaatan kepada-Nya, baik ia
berbeda suku, berbeda negara, berbeda warna kulit, berbeda bahasa, berbeda
martabat. Dan seorang mukmin dalam hatinya memiliki rasa benci kepada orang
yang menyembah kepada selain Allah dan membenci orang yang banyak melakukan
maksiat, meskipun ia satu negara, meskipun ia satu bahasa, sama warna kulitnya,
meskipun ia teman sepermainan, meskipun ia adalah orang tuanya, anaknya,atau
keluarganya. Inilah konsep cinta dan benci dalam Islam.
Cinta
dan Benci Orang Jahiliyah
Masa Jahiliyyah adalah masa sebelum di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.Dan pada saat itu dunia diliputi kebodohan terhadap
agama, kesesatan, penyimpangan dan kemusyrikan (Lihat Syarh Masa’il Jahiliyyah (8), Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan). Oleh karena itu
Allah Ta’ala banyak mencap buruk orang-orang pada masa Jahiliyyah dalam Al Qur’an Al Karim. Misalnya firman Allah Ta’ala (yang artinya): “(Wahai kaum wanita), hendaklah kalian tetap
di rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagaimana orang-orang
Jahiliyah yang terdahulu” (QS.
Al Ahdzab: 33). Sehingga Islam melarang ummat-Nya berperilaku sebagaimana
perilaku orang-orang Jahiliyyah secara umum.
Lalu bagaimanakah konsep cinta dan benci
yang diterapkan orang-orang Jahiliyyah? Cinta dan benci mereka dibangun atas dasar kesamaan
suku dan bangsa. Ketika dua suku berseteru, mereka membenci orang-orang yang
masih satu suku bangsa dan membenci orang-orang yang berbeda suku bangsa.
Sebagaimana diceritakan sebuah hadits:
“Suatu ketika di Gaza, (dalam sebuah pasukan) ada
seorang dari suku Muhajirin mendorong seorang lelaki dari suku Anshar. Orang
Anshar tadi pun berteriak: ‘Wahai orang Anshar (ayo berpihak padaku)’. Orang
Muhajirin tersebut pun berteriak: ‘Wahai orang Muhajirin (ayo berpihak
padaku)’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun mendengar kejadian tersebut,
beliau bersabda: ‘Pada diri kalian masih terdapat seruan-seruan Jahiliyyah’.
Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah mendorong seorang
dari suku Anshar’. Beliau bersabda: ‘Tinggalkan sikap yang demikian, karena
yang demikian adalah perbuatan busuk’ ”
(HR. Al Bukhari no.4905)
Perhatikan dengan baik hadits yang mulia
ini. Muhajirin dan Anshar adalah dua kaum yang mulia yang dipuji oleh Allah Ta’ala. Namun tatkala mereka menyerukan fanatisme kesukuan,
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam menyatakan bahwa sikap tersebut adalah
perangaiJahiliyah, bahkan beliau melaknat perbuatan tersebut. Bagaimana
lagi dengan kita?
Jangan
Berpecah Belah
Perpecahan umat Islam adalah sesuatu
yang tercela dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada
mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (QS. Al Imran: 104). Dan sebaliknya, Islam
memerintahkan ummat-Nya untuk bersatu-padu. Dan perintah untuk bersatu ini
ditujukan kepada setiap Muslim di seluruh dunia, tidak hanya antar ummat Muslim
di satu negara saja. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (QS. Al Imran: 102-103)
Dalam ayat di atas, jelas sekali bahwa perintah untuk
bersatu ditujukan untuk setiap Muslim, bukan hanya muslim yang sebangsa saja.
Oleh karena itu, perselisihan antar umat Islam baik yang satu negara ataupun
berbeda negara adalah sumber kebinasaan. Maka bersatulah wahai kaum muslimin di
negara manapun engkau berada!
Muslim
Itu Bersaudara
Seorang muslim mempersembahkan cintanya
yang paling besar dan yang paling tulus kepada Allah Ta’ala. Cinta ini tidak boleh pupus oleh cinta lain. Cinta
kepada Allah tidak boleh ditenggelamkan oleh cinta seseorang kepada
keluarganya, bahkan kepada kedua orang tuanya. Konsekuensinya, siapapun yang
mencintai Allah Ta’ala, berhak untuk kita cintai. Sebaliknya, siapapun yang
mendurhakai Allah Ta’ala, layak untuk kita benci. Rasa cinta kepada Allah
inilah yang mengikat setiap muslim dalam lingkar persaudaraan yang mulia. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab
itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu” (QS. Al Hujurat: 10). Oleh karena itu, wahai kaum
muslimin, berbuat baiklah kepada sesama muslim layaknya saudara!
Apakah seseorang akan membenci saudaranya? Apakah ia
akan menjauhi saudaranya? Apakah ia akan menghina saudaranya? Apakah ia akan
menzhalimi saudaranya? Sama sekali tidak. Maka demikianlah sepatutnya seorang
muslim.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jangan kalian saling hasad, jangan saling mencurangi,
jangan saling membenci, jangan saling menjauhi, jangan kalian menawar barang
yang sedang ditawar orang lain. Jadilah kalian hamba Allah yang saling
bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak boleh
menzhaliminya, tidak boleh membohonginya dan tidak boleh menghinanya” (HR. Muslim no.2564)
Berlombalah
dalam Kebaikan, bukan Dalam Maksiat
Miris rasanya melihat umat muslim berselisih,
bertengkar dan berseteru disebabkan rasa iri dan dengki dalam kemaksiatan.
Mereka membangga-banggakan diri atas perkara maksiat dan saling dengki satu
sama lain.
Contohnya, mereka berseteru karena
musik. Padahal Allah Ta’ala tidak ridha terhadap hal tersebut. Allah berfirman: “Dan di antara manusia (ada) orang yang
mempergunakan lahwal hadits untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah” (QS. Luqman: 6) Sebagian ahli tafsir, juga sahabat
yang mulia, Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu menjelaskan bahwa yang dimaksudlahwal hadits di dalam ayat ini adalah nyanyian. Rasul kita Shallallahu’alaihi Wasallam juga pernah bersabda, “Akan ada beberapa kaum dari ummatku yang
menghalalkan zina dan sutra, serta khamr dan alat musik” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazhjazm/tegas
. Al Imam Ibnul Qayyim telah membantah anggapan yang mengatakan bahwa hadits
ini dhaif. Hadits di atas dinilai sahih oleh banyak ulama, di antaranya: Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Al
Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu
Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-)
Hadits ini jelas menunjukkan keharaman
musik. Dan Nabi kita Shallallahu’alaihi
Wasallam tidak ridha terhadapnya. Jika Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidak ridha, mengapa kita malahmencintainya? Dan malah berbangga-bangga
dengannya? Dan menjadikannya bahan perseteruan?
Tarian yang dilakukan para wanita dengan
memamerkan aurat mereka, kemudian berlenggak-lenggok gemulai di depan orang
banyak, sungguh mereka telah bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Namun hal ini malah dijadikan
kebanggaan dan menjadi sebab pertikaian!?
Padahal Rasul kitaShallallahu’alaihi
Wasallam bersabda: “Ada dua jenis manusia penghuni neraka
yang aku belum pernah melihat sebelumnya. Yang pertama yaitu orang yang
memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka mencambuki orang lain. Yang kedua
yaitu wanita yang berpakaian namun sebenarnya telanjang, mereka berjalan
berlenggak-lenggok. Kepala mereka seperti punuk unta yang bergoyang. Mereka
tidak masuk surga, bahkan tidak mencium wanginya surga. Padahal wanginya surga
dapat tercium dari jarah yang sangat jauh”
(HR. Muslim no. 2128)
Wahai kaum muslimin, buktikan cintamu
kepada Allah. Berhentilah berbangga dan berlomba dalam hal yang tidak diridhai
Allah Ta’ala! Berlombalah dalam kebaikan dan ketaqwaan! Bukankah
anda pernah mendengar firman Allah Ta’ala:
“Sungguh,
yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa” (QS. Al Hujurat: 13)
Maka irilah kepada saudaramu yang hafal
Al Qur’an, irilah kepada saudaramu yang paham ilmu agama, irilah pada saudaramu
yang giat beribadah, irilah pada saudaramu yang zuhud danqanaah. Berusahalah menandingi mereka dalam hal tersebut.
Irilah jika ada negeri lain yang masyarakatnya lebih shalih, dan berusahalah
menjadikan negeri kita ini lebih shalih dari negeri tersebut.
Benarkah Nasionalisme Bagian
Dari Iman?
Pada sebuah kesempatan, Syaikh Abdullah
bin Abdul Aziz Al ‘Uqail rahimahullah, seorang ulama besar dari Unaizah, ditanya: “Bagaimana dengan ungkapan yang banyak
tersebar di masyarakat, yaitu: “Cinta tanah air (wathon) adalah bagian dari iman”. Apakah ungkapan ini adalah sebuah hadits yang shahih?”
Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Uqail rahimahullah, menjawab: “Menurutku,
andaikan hadits ini shahih, bisa dibenarkan jika wathon kita artikan sebagai:
1.
Surga,
karena surga adalah negeri pertama bagi keturunan Adam ‘Alaihissalam
2.
Mekkah,
karena Mekkah adalah Ummul
Quraa (Ibu kota dari semua kota) dan kiblatnya
orang alim
3.
Negeri
yang baik, namun dengan syarat cinta kepada negeri dikarenakan adanya itikad
untuk menyambung silaturahim, atau berbuat baik kepada penduduk negeri
tersebut, misalnya kepada orang fakir dan anak yatim (bukan karena semangat
nasionalisme, pent) [Demikian penjelasan Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al
'Uqail, dikutip dari Mauqi'
Al Islam]
Ulama pakar hadits abad ini, Muhammad
Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata: “Hadits ini adalah hadits palsu. As Shaghani
dan ulama yang lain berkata: ‘Makna hadits ini tidak benar. Karena kecintaan
kepada tanah air seperti mencintai diri sendiri, mencintai harta, dan
semacamnya. Ini semua merupakan sifat-sifat manusiawi. Sehingga seseorang yang
mencintai hal-hal tersebut tidak serta-merta dipuji. Oleh karena itu mencintai
tanah air bukan bagian dari iman. Bukankah anda melihat bahwa semua manusia
memiliki sifat ini? Baik yang mu’min maupun yang kafir tanpa terkecuali.’ (Silsilah Ahadits Adh Dhaifah, 36)
Nasionalisme
yang Dibenarkan Islam
Berbicara tentang cinta tanah air,
memang benar bahwa mencintai tanah kelahiran adalah hal yang manusiawi.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam pun mencintai tempat kelahiran beliau,
Makkah. Sampai-sampai beliau bersabda, “Wahai Makkah, tidak ada negeri yang lebih baik dan
lebih kucintai dari pada engkau. Andai kaumku tidak mengusirku darimu, aku
tidak akan pernah tinggal di negeri lain”
(HR. At Tirmidzi no.3926, di-shahih-kan
Al Albani dalam Shahih
At Tirmidzi)
Namun beliau mencintai Makkah bukan
karena semata-mata tempat kelahiran, namun karena Makkah adalah negeri kaum
muslimin, negeri tauhid yang diwariskan Ibrahim ‘Alahissalam. Oleh karena itu beliau pun mencintai Madinah, yang
juga negeri kaum muslimin, walaupun bukan tempat kelahiran beliau. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika peristiwa hijrah ke Madinah, “Ya Allah, berikanlah kami rasa cinta
terhadap Madinah sebagaimana kami mencintai Makkah, atau bahkan cinta yang
lebih besar dari itu” (HR. Bukhari no.6372)
Maka nasionalisme yang benar adalah
nasionalisme yang didasari rasa cinta kepada Allah Ta’ala. Yaitu mencintai negeri tempat kelahiran kita yang
merupakan negeri kaum muslimin, karena Islam ditegakkan di dalamnya. Syaikh
Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: “Tanah air dicintai jika ia merupakan negeri
kaum muslimin. Setiap orang wajib bersemangat untuk berbuat kebaikan di
negerinya, juga di negeri lain yang merupakan negeri kaum muslimin. Setiap
orang juga wajib mengusahakan keluarga dan kerabatnya tinggal di negeri kaum
muslimin” (Fatawa
Wal Maqalat Mutanawwi’ah,
Juz 9, http://www.binbaz.org.sa/mat/2078 )
Selain itu, sebagaimana dijelaskan
Syaikh Al Uqail, semangat cinta tanah air dapat dibenarkan jika diniatkan dalam
rangka ingin berbuat baik kepada masyarakatnya. Dengan kata lain, ia mencintai
negerinya karena orang-orang yang ia sayangi berada di negeri tersebut, dan ia
ingin berbuat baik kepada mereka. Karena memang Islam mengajarkan untuk
mendahulukan orang-orang terdekat dalam berbuat kebaikan. Allah Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka”
(QS. At Tahrim: 5)
Allah Ta’ala juga berfirman: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang
tua, karib-kerabat….” (QS. An Nisa: 36)
Oleh karena itu, kami mengajak kaum
muslimin sekalian untuk meninggalkan semangat nasionalisme Jahiliyyah dan beralih kepada semangat nasionalisme di dasari
rasa cinta kepada Allah Ta’ala. Hentikan pertikaian antara saudara seiman! Kemudian
mari kita bersama membangun negeri kita ini dalam setiap aspek kehidupan,
sehingga kaum muslimin kuat dan kokoh. Mari kita dukung program-program
pemerintah yang sejalan dengan nilai-nilai Islami, dan mari unggulkan negeri
kita ini dalam hal kebaikan dan ketaqwaan.
Mudah-mudahan Allah menjadikan negeri
kita ini menjadi negeri yang diridhaiNya, semoga pada negeri ini diturunkan
rahmah serta keberkahan Allah di dalamnya. Dan semoga Allah menjadikan
penduduknya menjadi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah serta bersatu-padu
menjalin persaudaraan yang kuat dan kokoh karena-Nya. Wallahul musta’an. [Yulian Purnama]
Sumber: Buletin At Tauhid edisi V/46
http://salafiyunpad.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment