Sebentar lagi kita akan memasuki tanggal 1 Muharram 1431 H. Seperti kita
ketahui bahwa perhitungan awal tahun hijriyah dimulai dari hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan
bulan Muharram? Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang
mungkin banyak di antara kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di antara kaum
muslimin yang salah kaprah dalam menyambut bulan Muharram atau awal tahun.
Silakan simak pembahasan berikut.
Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram
Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan
Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram.
Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.
إِنَّ عِدَّةَ
الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat
bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan
langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di
orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan
matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari
dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas
bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung
berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan
perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”[1]
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ
اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ
ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى
بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
”Setahun berputar sebagaimana keadaannya
sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di
antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu
Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang
terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[2]
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah;
(3) Muharram; dan (4) Rajab. Oleh karena itu bulan Muharram termasuk
bulan haram.
Di Balik Bulan Haram
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan
bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang
Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih
ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian
pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[3]
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan
ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan
haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang
berpuasa di dalamnya.”
Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai
bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut
dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala
yang lebih banyak.”[4]
Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan
Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ
بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ
الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
”Puasa yang paling utama setelah (puasa)
Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara
shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[5]
Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan
Allah, dengan disandarkan pada lafazhjalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan
keistimewaannya.[6]
Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul
Qodir (2/53), beliau rahimahullahmengatakan, ”Bulan
Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut,
sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Alullah’
(keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan
tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan
pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama
bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih
menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan
disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh
setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasatathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada
melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10
Dzulhijah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki
keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan
pembuka tahun.”[7]
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa
hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua
bulan adalah milik Allah?”
Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram
ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam
setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau
bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah
Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram).[8]
Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iroqiy di atas,
jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.
Menyambut Tahun Baru Hijriyah
Dalam menghadapi tahun baru hijriyah atau bulan Muharram, sebagian kaum
muslimin salah dalam menyikapinya. Bila tahun baru Masehi disambut begitu megah
dan meriah, maka mengapa kita selaku umat Islam tidak menyambut tahun baru
Islam semeriah tahun baru masehi dengan perayaan atau pun amalan?
Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan diri
dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Jika mereka tidak melakukan amalan
tertentu dalam menyambut tahun baru Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun
mengikuti mereka dalam hal ini. Bukankah para ulama Ahlus Sunnah seringkali
menguatarakan sebuah kalimat,
لَوْ كَانَ خَيرْاً
لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu
mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.”[9] Inilah perkataan para ulama pada setiap
amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka
menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat
tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.[10]
Sejauh yang kami tahu, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk
menyambut tahun baru hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian
kaum muslimin dalam menyambut tahun baru Hijriyah adalah amalan yang tidak ada
tuntunannya karena sama sekali tidak berdasarkan dalil atau jika ada dalil,
dalilnya pun lemah.
Amalan Keliru dalam Menyambut Awal Tahun
Hijriyah
Amalan Pertama: Do’a awal dan akhir
tahun
Amalan seperti ini sebenarnya tidak ada tuntunannya sama sekali. Amalan ini
tidak pernah dilakukan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar lainnya. Amalan ini juga
tidak kita temui pada kitab-kitab hadits atau musnad. Bahkan amalan do’a ini
hanyalah karangan para ahli ibadah yang tidak mengerti hadits.
Yang lebih parah lagi, fadhilah atau keutamaan do’a ini sebenarnya tidak
berasal dari wahyu sama sekali, bahkan yang membuat-buat hadits tersebut telah
berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Jadi mana mungkin amalan seperti ini diamalkan.[11]
Amalan kedua: Puasa awal dan akhir tahun
Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah
dan awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir
tahun. Dalil yang digunakan adalah berikut ini.
مَنْ صَامَ آخِرَ
يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ
السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ، وَافْتَتَحَ السَّنَةُ المُسْتَقْبِلَةُ
بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَارَةٌ خَمْسِيْنَ سَنَةً
“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan
puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah
menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan
puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.”
Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:
1. Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181) mengatakan
bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini
termasuk pemalsu hadits.
2. Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa
ada dua perowi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
3. Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan
bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang
pendusta dan pemalsu hadits.[12]
Kesimpulannya hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun
adalah hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga
tidak perlu mengkhususkan puasa pada awal dan akhir tahun karena haditsnya
jelas-jelas lemah.
Amalan Ketiga: Memeriahkan Tahun Baru
Hijriyah
Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan
dzikir jama’i, mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu
dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, menyalakan lilin, atau
membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar,
‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama sesudahnya.
Yang memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi tahun
baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal perbuatan semacam ini
jelas-jelas telah menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum,
maka dia termasuk bagian dari mereka”[13]
Penutup
Menyambut tahun baru hijriyah bukanlah dengan memperingatinya dan
memeriahkannya. Namun yang harus kita ingat adalah dengan bertambahnya waktu,
maka semakin dekat pula kematian.
Sungguh hidup di dunia hanyalah sesaat dan semakin bertambahnya waktu
kematian pun semakin dekat. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا لِى وَمَا
لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ
شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Aku tidaklah mencintai dunia dan tidak
pula mengharap-harap darinya. Adapun aku tinggal di dunia tidak lain seperti
pengendara yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu meninggalkannya.”[14]
Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia,
sesungguhnya kalian hanya memiliki beberapa hari. Tatkala satu hari hilang,
akan hilang pula sebagian darimu.”[15]
Semoga Allah memberi kekuatan di tengah
keterasingan. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan
menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, ST
Diselesaikan di wisma MTI (secretariat YPIA), 30 Dzulhijah 1430 H.
[1] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al
Hambali, hal. 217, Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawas, Dar Ibnu Katsir,
cetakan kelima, 1420 H.
[8] Syarh Suyuthi li Sunan An
Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami, cetakan
kedua, tahun 1406 H.
[9] Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, Ibnu Katsir, tafsir surat Al Ahqof: 11, 7/278-279, Dar Thoyibah, cetakan
kedua, tahun 1420 H.
[13] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam
dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no.
1269
[14] HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih
oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi
0 comments:
Post a Comment