PENDAHULUAN
A.
Definisi Ikterus
Ikterus
berarti gejala kuning karena penumpukan bilirubin dalam aliran darah yang
menyebabkan pigmentasi kuning pada plasma darah yang menimbulkan perubahan
warna pada jaringan yang memperoleh banyak aliran darah tersebut. Jaringan
permukaan yang kaya elastin seperti sklera dan permukaan bawah lidah biasanya pertama
kali menjadi kuning. Ikterus biasanya baru dapat dilihat jika kadar bilirubin
serum mencapai 2-3 mg/dl. Kadar bilirubin serum normal 0,3-1 mg/dl.
Penimbunan pigmen
empedu di dalam tubuh yang menyebabkan warna kuning pada jaringan dinamakan
ikterus.
|
B.
Etiologi (Penyebab)
Gejala ikterus berhubungan erat dengan metabolisme
bilirubin. Dalam metabolisme bilirubin terdapat 5 faktor penting yaitu:
1. Pembentukan
2. Pengangkutan
3. Penyerapan
4. Konjugasi
5. Ekskresi
Ikterus secara teoritik berdasarkan gangguan metabolisme
kelima faktor tersebut. Disfungsi atau gangguan faktor-faktor tersebut dapat
timbul akibat:
1. Kelainan
herediter atau congenital
2. Infeksi
3. Trauma
4. Keganasan,
tumor, batu
5. Degeneratif
Untuk
mengklasifikasikan ikterus dapat berdasarkan:
1. Tempat
anatomi lesi patologik yang menyebabkan ikterus (prehepatik, hepatik dan
pascahepatik)
2. Sebab
patologik (infeksi, trauma dan sebagainya)
3. Jenis
perubahan dalam metabolisme bilirubin
C.
Patofisiologi
Kurang lebih 80 - 85 % bilirubin berasal dari penghancuran
eritrosit tua. Sisanya 15 - 20 % bilirubin berasal dari penghancuran eritrosit
muda karena proses eritropoesis yang inefektif di sumsum tulang, hasil
metabolisme proein yang mengandung heme lain seperti sitokrom P-450 hepatik,
katalase, peroksidase, mioglobin otot dan enzim yang mengandung heme dengan
distribusi luas. Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu
dari keempat mekanisme ini:
Over produksi, Penurunan ambilan hepatic, Penurunan
konjugasi hepatic, Penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat
disfungsi intrahepatik atau obstruksi mekanik ekstrahepatik).
1. Over
produksi.
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah
merah yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi
bilirubin. Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling
sering akibat hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau
hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul
sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung
normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan sel hati.
Akibatnya bilirubin tak terkonjugasi meningkat dalam darah. Karena bilirubin
tak terkonjugasi tidak larut dalam air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam
urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi pembentukkan urobilinogen
meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam urine feces (warna gelap).
Beberapa penyebab ikterus hemolitik: hemoglobin abnormal (cickle sel
hemoglobin), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), ±
anemia, antibodi
serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi), obat-obatan.
2. Penurunan
ambilan hepatic.
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya
dari albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan
seperti asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.
3. Penurunan
konjugasi hepatic.
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi
peningkatan bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi
enzim glukoronil transferase. Terjadi pada: Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler
Najjar I, Sindroma Crigler Najjar II.
4.
Penurunan eksresi bilirubin ke dalam
empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi mekanik ekstrahepatik).
Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan
intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh
hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi
sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat
berkaitan dengan: reaksi obat, hepatitis alkoholik serta perlemakan hati oleh
alkohol. ikterus pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma
Dubin Johnson dan Rotor, ikterus pasca bedah. Obstruksi saluran bilier
ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai
bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun
parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab
tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah: sumbatan batu empedu pada
ujung bawah ductus koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula
vateri, striktura pasca peradangan atau operasi.
D. Gejala
Dan Tanda
a.
Fourthy, female, fat, fertile.
b.
Mata: xantelasma
c.
Warna kulit: kuning pucat, kuning
orange atau kuning kehijauan.
d.
Gejala sirosis hepatis (kriteria
Suharyono Subandiri) : Spider nevi, Asites dengan atau tanpa udema, Hepatosplenomegali,
Ratio albumin dan globulin terbalik, Venektasi, Hematemesis, Eritema Palmaris,
Ginekomasti.
e.
Pemeriksaan regio hipokondria
dextra: hepatomegali, murphy sign, pembesaran kandung empedu. Pemeriksaan regio
epigastrium: hepatomegali.
f.
Bekas garukan (pruritus) dan
ekskoriasi.
g.
Tanda-tanda gagal jantung kanan: oedema
kaki, hipertropi ventrikel kanan, pulsasi epigastrium, JVP meningkat,
hepatojugular reflux gallop.
E.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Bilirubin
serum total, bilirubin direk dan indirek.
2. Darah
3. Protein
serum total, albumin serum, globulin serum
4. Kolesterol
total
5. SGOT
(Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase)
6. SGPT
(Serum Glutamic Pyruvic Transaminase)
7. Alkali
phosphatase
8. 5
Nukleotidase.
9. Tes
serologic: HbsAg, IgM anti HAV
10. BSP
(Brom Sulphatalein) dll
F.
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto
polos abdomen
2. Ultrasonografi
3. CT
Scan
4. MRI
(Magnetic Resonance Imaging)
5. PTC
(Percutans Transhepatic Colangiography)
6. ERCP
(Endoscopic Retrograd Cholangiopancreatography
BAB II
MENGENAL
IKTERUS NEONATORUM
Pada
tahun 2025 AKB (Angka Kematian Bayi) dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran
hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati
bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan
komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka
mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral
palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup.
Ikterus
neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi
dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada
neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa
normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak
dan usianya lebih pendek.
Banyak
bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau
usia gestasi < 37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama
kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru
lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama
kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak
berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki
penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir
minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki
penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus
non-fisiologis).
A.
Definisi Ikterus
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada
kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu
bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi
bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar
bilirubin dalam darah > 13 mg/dL. Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi
pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:
·
Timbul dalam 24 jam pertama
kehidupan.
·
Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup
bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan > 10 mg/dL.
·
Peningkatan bilirubin > 5
mg/dL/24 jam.
·
Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
·
Ikterus menetap pada usia > 2
minggu.
·
Terdapat faktor risiko.
Efek toksik bilirubin ialah
neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke jaringan
otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat
deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut
atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap: tahap 1 (1-2 hari pertama):
refleks isap lemah, hipotonia, kejang, tahap 2 (pertengahan minggu pertama):
tangis melengking, hipertonia, epistotonus, tahap 3 (setelah minggu pertama):
hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat.
Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran
sensorial.
B.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap
tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah
Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami
ikterus pada minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari
beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di
Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003,
menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar
bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL
pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi
cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki
kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5.
Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan
hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada
bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95%
dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari
1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi
Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di
antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka
kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data
insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan
22,8%.
Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya
sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup
besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5
mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3
dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.
C.
Etiologi dan Faktor Risiko
1. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi
baru lahir, karena:
·
Hemolisis yang disebabkan oleh
jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
·
Fungsi hepar yang belum sempurna
(jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam
protein belum adekuat)→penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan
konjugasi.
·
Sirkulus enterohepatikus meningkat karena
masih berfungsinya enzim→glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
Peningkatan kadar bilirubin yang
berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:
·
Hemolisis akibat inkompatibilitas
ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan
pengaruh obat.
·
Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis,
infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
·
Polisitemia.
·
Ekstravasasi sel darah merah,
sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
·
Ibu diabetes.
·
Asidosis.
·
Hipoksia/asfiksia.
·
Sumbatan traktus digestif yang
mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
2. Faktor
Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
a. Faktor
Maternal
·
Ras atau kelompok etnik tertentu
(Asia, Native American, Yunani)
·
Komplikasi kehamilan (DM,
inkompatibilitas ABO dan Rh)
·
Penggunaan infus oksitosin dalam
larutan hipotonik.
·
ASI
b. Faktor
Perinatal
·
Trauma lahir (sefalhematom,
ekimosis)
·
Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor
Neonatus
·
Prematuritas
·
Faktor genetic
·
Polisitemia
·
Obat (streptomisin, kloramfenikol,
benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
·
Rendahnya asupan ASI
·
Hipoglikemia
·
Hipoalbuminemia
D.
Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya
pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam,
dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun
mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
1. Ikterus fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan
konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya
dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi
baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai
puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun
kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan
kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas,
ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak
bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung
lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk
memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir.
Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir
meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa
hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses
ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin
dan pembentukan bilirubin.
2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk
jaundice)
Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat
terjadi ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya
faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus
halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI
tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah. Apabila keadaan umum bayi baik,
aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar
bilirubin.
E.
Penegakan Diagnosis
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun
masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan
pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence
pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat
keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan
skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus
secara visual, sebagai berikut:
·
Pemeriksaan dilakukan dengan
pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus
bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak
terlihat pada pencahayaan yang kurang.
·
Tekan kulit bayi dengan lembut
dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
·
Tentukan keparahan ikterus
berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning. (tabel 1)
2. Bilirubin
Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan
diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih
lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan
serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap
dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah
bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium
foil)
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk,
bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.
3. Bilirubinometer
Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang
bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan
panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna
kulit neonatus yang sedang diperiksa. Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB)
dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang
dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh
pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan
untuk diagnosis.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB. Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB. Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
4. Pemeriksaan
bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah
otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada
konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar
bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara
ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin.
Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas,
tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah. Seperti telah diketahui
bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang
ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan
melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.
Tabel
1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus
Usia
|
Kuning terlihat pada
|
Tingkat keparahan ikterus
|
Hari 1
Hari 2
Hari 3
|
Bagian tubuh manapun
Tengan dan tungkai *
Tangan dan kaki
|
Berat
|
*Bila
kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada
lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai
ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu
menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar.
F.
Tata laksana
1. Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu
diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar
bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi
ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
·
Minum ASI dini dan sering
·
Terapi sinar, sesuai dengan panduan
WHO
·
Pada bayi yang pulang sebelum 48
jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak
kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama
> 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada
bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat
diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup
besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
·
Mulai terapi sinar bila ikterus
diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
·
Tentukan apakah bayi memiliki faktor
risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu,
hemolisis atau sepsis
·
Ambil contoh darah dan periksa kadar
bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes
Coombs:
·
Bila kadar bilirubin serum di bawah
nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar.
·
Bila kadar bilirubin serum berada
pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar.
·
Bila faktor Rhesus dan golongan
darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi
G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.
·
Tentukan diagnosis banding
2. Tata laksana Hiperbilirubinemia
Hemolitik
Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus
atau golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada
bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik,
apapun penyebabnya.
·
Bila nilai bilirubin serum memenuhi
kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan terapi sinar.
·
Bila rujukan untuk dilakukan
transfusi tukar memungkinkan:
·
Bila bilirubin serum mendekati nilai
dibutuhkannya transfusi tukar, kadar hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit <
40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.
·
Bila bilirubin serum tidak bisa
diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi
bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL
(hematokrit < 40%).
·
Bila bayi dirujuk untuk transfusi
tukar:
·
Persiapkan transfer.
·
Segera kirim bayi ke rumah sakit
tersier atau senter dengan fasilitas transfusi tukar.
·
Kirim contoh darah ibu dan bayi.
·
Jelaskan kepada ibu tentang penyebab
bayi menjadi kuning, mengapa perlu dirujuk dan terapi apa yang akan diterima
bayi.
Nasihati ibu:
·
Bila penyebab ikterus adalah
inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu mendapatkan informasi yang cukup mengenai
hal ini karena berhubungan dengan kehamilan berikutnya.
·
Bila bayi memiliki defisiensi G6PD,
informasikan kepada ibu untuk menghindari zat-zat tertentu untuk mencegah
terjadinya hemolisis pada bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan
sulfa, aspirin, kamfer/mothballs, favabeans).
·
Bila hemoglobin < 10 g/dL
(hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.
·
Bila ikterus menetap selama 2 minggu
atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3 minggu lebih lama pada bayi kecil
(berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu), terapi
sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).
·
Follow up setelah kepulangan,
periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4 minggu. Bila hemoglobin < 8
g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi darah.
Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice)
- Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2
minggu pada neonatus cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.
- Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan
penunjang untuk mencari penyebab.
- Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna
gelap, persiapkan kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau
senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.
- Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai
sifilis kongenital.
G.
Efek Hiperbilirubinemia
Perhatian utama pada
hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-sel saraf,
meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat
menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA.
Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf
(terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli
saraf.
Kerusakan jaringan otak yang terjadi
seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin serum. Hal ini
disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan
lama paparan bilirubin terhadap jaringan.
Ensefalopati bilirubin
Ikterus neonatorum yang berat dan
tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati
bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan lipid
dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum yang menyebabkan
kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan
kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat
ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan
antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah
diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin
total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik
yang disebabkannya.
Faktor yang mempengaruhi toksisitas
bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat kompleks dan belum sepenuhnya
dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum, ikatan
albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel
otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah
peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar
albumin serum yang sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur
berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin.
Bayi yang selamat setelah mengalami
ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak permanen dengan
manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau
hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.
H.
Pencegahan
Perlu dilakukan terutama bila
terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP
dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan
hiperbilirubinemia sebagai berikut:
1.
Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI
pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan
paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali
sehari selama beberapa hari pertama.
Rendahnya asupan kalori dan atau
keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan
ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan
kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan
yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan
tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi.
Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum
maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
2.
Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan
sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.
Pemeriksaan Golongan Darah
Semua wanita hamil harus menjalani
pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi
isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan darah selama
kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan
Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan
pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes
Coombs.
Penilaian Klinis
Dokter harus memastikan bahwa semua
neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang
perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus. Ikterus
harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan
tanda-tanda vital lain. Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan
menekan kulit bayi sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan.
Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling baik
menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku
pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada
awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan
ekstrimitas.
DAFTAR
PUSTAKA
Terima kasih saudaraku atas brbagi pengetahuannya mengenai Ikterus ini.Bukannya ini juga salah satu tanda dan gejala kalau seseorang terkena penyakit hati ya sehingga kadar bilirubinnyaa meningkat dan menimbulkan tanda kuning di badan penderitanya...?
ReplyDeleteIya benar, ikterus merupakan patologi atau perjalanan gejala suatu penyakit yang salah satunya adalah penyakit hati. Namun penyakit hatipun banyak penyebabnya, bisa karena virus, parasit, penyakit bawaan, toksin tertentu, dll. Sehingga diagnosis penyakit hati perlu kajian lebih lanjut . . .
ReplyDeleteso. thank you kak :D
ReplyDeleteTerimakasih untuk artikelnya, informasi yang bermanfaat.
ReplyDelete