
Merasakan
manisnya sesuatu merupakan buah dari cinta terhadapnya. Di kala seseorang
mencintai sesuatu atau menyukai lantas mendapatkannya, maka ia akan merasakan
manis, lezat dan bahagia karenanya. Demikian pula manisnya iman yang dirasa
oleh seorang mukmin; kelezatan dan kebahagiaan yang ia dapatkan dalam
keimanannya sebanding dengan cinta yang ada dalam dirinya. Dan hal itu akan ia
dapatkan dengan melakukan tiga hal yang disebutkan oleh hadits di atas.[2]
Yang berhak dicinta di atas cinta
Cinta, sebuah kata yang indah didengar,
manis diucapkan, nikmat dirasakan. Cinta adalah karunia dan rohmat dari Allah
ta’ala yang Dia berikan dan Dia bagikan kepada manusia.
Segala puji bagi Allah ta’ala yang telah
menjadikan cinta sebagai jalan menuju apa yang dicintai-Nya, dan telah
menjadikan ketaatan dan ketundukan kepada-Nya sebagai dalil atas kebenaran dan
kejujuran cinta. Dia-lah yang telah menggerakkan jiwa dengan cinta menuju
kesempunaan. Mahasuci Allah yang telah memalingkan hati kepada yang Dia
kehendaki dan untuk apa yang Dia kehendaki dengan kekuasaan-Nya. Dia lah yang
menjadikan cinta bercorak dan bercita warna, membagikan cinta kepada para
hamba-Nya, memberikan pilihan kepada mereka apa dan siapa yang dicintainya; ada
cinta yang mulia dan ada yang hina, ada yang cinta harta, wanita, tahta dan
segala yang nista.
Namun ada sebuah cinta yang paling
mulia, (yaitu) cinta kepada Sang Pencipta cinta, yang telah menciptakan alam
semesta dengan cinta, dan untuk cinta, karena pada hakikatnya cinta yang
tertinggi dan termulia dari hamba adalah menghamba kepada-Nya. Dan tiada yang
berhak menerima cinta termulia ini melainkan Dzat yang seluruh alam semesta
harus tunduk kepada-Nya. Karena tidaklah jin dan manusia diciptakan melainkan
untuk menghamba kepada-Nya. Dan seluruh cinta harus tunduk di bawah cinta-Nya
dan cinta karena-Nya.
Semakin
bertambah cinta seorang mukmin kepada Allah ta’ala dan Rasul-Nya, semakin
bertambah pula rasa manis imannya. Karena iman memiliki rasa manis dalam hati,
kelezatan iman yang tidak diketahui melainkan oleh Allah ta’ala, itulah cinta
di atas cinta[3].
Cinta Hakiki Cinta Yang Terbukti
Cinta butuh kepada bukti untuk bisa
diakui kebenaran cintanya. Karena siapapun bisa saja mengaku cinta, namun tidak
semua pengakuan cinta itu hakiki dan sejati, dan tidak semua pengakuan cinta
itu abadi. Ada tanda-tanda dan bukti cinta yang harus diwujudkan hingga bisa
diketahui manakah sebenarnya cinta yang sejati dan mana yang hanya sekedar
cinta palsu. Demikian pula apakah cinta itu tulus dan murni ataukah sebenarnya
ada keinginan lain dibalik pengakuan cinta, apalagi jika pengakuan cinta itu
ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya, atau cinta karena Allah ta’ala dan benci
karena-Nya; tentu bukan pengakuan yang sepele dan mudah diucapkan begitu saja,
tetapi disinilah ukuran iman akan ditentukan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda:
”Tidaklah seorang hamba beriman hingga aku menjadi
orang yang lebih ia cintai daripada keluarganya, hartanya dan manusia
semuanya.” (HR. Bukhori)
Allah ta’ala juga berfirman:
”Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang
mukmin dari diri mereka sendiri” (QS.
Al-Ahzab: 6).
Dalam
hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Hisyam radliyallahu’anhu bahwa
ia berkata: Kami bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ketika
itu beliau shallallahu’alaihi
wa sallam menggandeng Umar bin al Khattab radliyallahu’anhu lalu Umar berkata kepada beliau,
”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih
aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri”.
Maka
Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda:
”Tidak
![4] Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan Nya, hingga aku
menjadi orang yang lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri”
Maka
’Umar radliyallahu’anhu pun berkata kepada beliau, ”Sesungguhnya sekarang,
Demi Allah, engkau sungguh lebih aku cintai daripada diriku sendiri”.
Maka
beliau shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda:
Pedoman Hakikat Cinta
Allah ta’ala telah memberikan sebuah
pedoman untuk mengetahui hakikat pengakuan cinta seseorang, (yaitu) bahwa yang
menjadi ukuran dan bukti cinta seseorang kepada Allah ta’ala adalah sejauh mana
dia dalam ber ittiba’ (mengikuti petunjuk) Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam. Allah berfirman:
قُلْ إِن
كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
”Katakanlah: ’Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa
kalian’. Allah Maha Pengampun dan Penyanyang” (QS. Ali-’Imron: 31)
Ittiba’ kepada Rasulullah
merupakan bukti cinta hamba kepada Allah ta’ala. Dan Allah ta’ala memberikan
janji kepada hamba-Nya berupa balasan cinta-Nya ketika memenuhi syarat cinta.
Karena yang paling penting dan paling agung bukanlah pengakuan hamba bahwa ia
mencintai-Nya, namun yang paling penting dan agung adalah ketika ia dicintai
dan dibalas cintanya oleh yang dicintainya.
Ayat
ini juga menunjukkan bahwa ittiba’ kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah bukti dan realisasi pengakuan cinta seseorang
kepada Rasulullah yang harus didahulukan dan diletakkan di atas cinta kepada
yang lainnya. Dan inilah hakikat cinta kepada Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam yang
sebenarnya. Barangsiapa yang menyelisihi, menyimpang dan meninggalkan ittiba’,
apalagi mengolok-olok, meremehkan, menghina dan menghujat sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, berarti dia telah bermaksiat kepada Allah ta’ala,
sekaligus menafikan kesempurnaan atau bahkan seluruh imannya.
Hanya
kepada-Nya lah seharusnya kita memberikan cinta di atas cinta. Walillahil mahabbah.
Penulis: Ust. Abu Abdirrahman
Sumber: Majalah alMawaddah
Edisi ke-5 Tahun ke-2 Dzulhijjah 1429/ Desember 2008 hal. 12-13.
[1] Diriwayatkan Bukhori dalam kitab al-Iman, bab
Halawatil Iiman 1/14 no. 16; dan Muslim dalam kitab al-Iman, bab Bayan Khisholi Man Ittashofa
Bihinna Wajada Halawatal Imaan 1/48
no. 174, an-Nasa’I 8/470 no. 4901, dan Ahmad 3/103 no. 12025
[5] Diriwayatkan al-Bukhori dalam kitab al-Aiman wan nudzuur bab kaifa
kaanat yaminun Nabi shallallahu’alaihi wa sallam 6/2445 no. 6257.
sumber : http://maramissetiawan.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment