Diriwayatkan dari sebagian istri Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal dan meminta untuk mengabarkan sesuatu, kemudian ia
membenarkan perkataannya maka tidak diterima shalatnya 40 hari”[1]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal
atau dukun kemudian membenarkan perkataannya, maka ia telah kufur
dengan Al Qur’an yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam”[2]
Syaikh Muhammad Al Yamani Al Wushobiy
mendefinisikan tukang ramal (‘arraaf), yaitu seseorang yang memberitahukan letak barang yang
hilang atau dicuri dan selainnya yang tersembunyi keberadaannya bagi manusia.
Maka sebagian manusia mendatangi tukang ramal tersebut dan ia memberitahukan
tentang sihir, barang yang hilang, barang yang dicuri, maupun identitas pencuri
atau penyihir, atau informasi sejenis yang tidak diketahui. Berbeda dengan
dukun (kaahin, populer dengan sebutan “paranormal” dalam
bahasa Indonesia -pen) yaitu seseorang yang memberitahukan kepada manusia
perkara ghaib, yang belum pernah terjadi, seperti Mahdi Amin[3], kalangan dukun
dan sejenisnya, begitu pula orang yang memberitahukan perkara batin dalam diri
manusia (biasanya dengan memberitahukan sifat-sifat rahasia, karakter, atau
watak orang tersebut yang hanya diketahui dirinya pribadi –pen).[4]
Sedangkan zodiak ialah diagram yang
digunakan oleh ahli astrologi untuk menggambarkan posisi planet dan bintang.
Diagram tersebut dibagi menjadi 12 bagian, masing-masingnya memiliki nama dan
simbol.Zodiak digunakan
untuk memperkirakan pengaruh kedudukan planet terhadap nasib atau kehidupan
seseorang.”[5]
Inilah beberapa pembahasan yang diambil
dari berbagai penjelasan para ulama, yang insya Allah akan kami ketengahkan ke
hadapan pembaca. Semoga Allah mudahkan.
Hukum
Mendatangi Tukang Ramal
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ta’ala berkata, “Zhahir hadits (yang kami sebutkan di atas
–pen) ialah barangsiapa yang bertanya kepada tukang ramal, maka shalatnya tidak
akan diterima 40 hari, akan tetapi hukum ini tidaklah berlaku mutlak. Adapun
hukum bertanya kepada tukang ramal dan sejenisnya terbagi menjadi beberapa
jenis:
Jenis Pertama: hanya sekedar bertanya saja, maka ini adalah haram berdasarkan sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal,… dst. (yang telah disebutkan di atas –pen). Maka ditetapkannya hukuman bagi orang yang bertanya kepada tukang ramal menunjukkan keharamannya, karena tidaklah hukuman atas suatu perbuatan itu disebutkan kecuali menunjukkan atas keharamannya.
Jenis
Kedua: bertanya kepada tukang ramal kemudian
membenarkan dan mempercayai perkataannya, maka hal ini adalah bentuk kekufuran,
karena membenarkan perkara ghaib berarti mendustakan Al Qur’an di mana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di
bumi yang mengetahui perkara ghaib, kecuali Allah” (QS. An Naml : 65).
Jenis
Ketiga: bertanya kepada tukang ramal dengan
maksud untuk mengujinya, apakah ia jujur atau pendusta, bukan dengan maksud
untuk mengambil perkataannya. Maka hal ini tidaklah mengapa, dan tidak termasuk
dalam hadits di atas. Nabi shallallaahu
alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad[6], “Apa yang aku
sembunyikan darimu?” Ibnu Shayyad menjawab, “Asap”, maka Nabi menjawab,
“Tetaplah di tempatmu. Engkau tidak akan melampaui apa yang telah Allah
takdirkan padamu.”[7]
Jenis
Keempat: bertanya dengan maksud untuk menampakkan
kelemahan dan kedustaan tukang ramal tersebut, kemudian mengujinya dalam rangka
menjelaskan kedustaan dan kelemahannya. Maka hal ini dianjurkan, bahkan
hukumnya terkadang menjadi wajib. Karena menjelaskan batilnya perkataan dukun
tidak diragukan lagi merupakan suatu hal yang dianjurkan, bahkan bisa menjadi
wajib.
Maka larangan bertanya kepada tukang
ramal tidaklah berlaku mutlak, akan tetapi dirinci sesuai dalil-dalil syar’i
yang telah disebutkan.”[8]
Bagaimana
Cara Tukang Ramal Mengetahui Hal-Hal Ghaib?
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafizhahullahu ta’ala menjelaskan, “Dukun tidaklah mengetahui perkara ghaib
kecuali menggunakan jin, yaitu dengan cara beribadah kepada jin tersebut dengan
ibadah yang mengandung kesyirikan. Kemudian jin menggunakan kesempatan untuk
memalingkan manusia dari ibadah kepada Allah, dan hal tersebut dilakukan agar
jin mau mengabarkan hal-hal ghaib.
Adapun jin dapat mengetahui perkara
ghaib, yang terkadang benar, dengan cara mencuri rahasia langit. Yaitu jin
saling menumpuk satu sama lain hingga mendengar wahyu Allah Jalla wa ‘Ala, dari langit. Maka dilemparilah jin dengan panah api
sebelum jin tersebut memperoleh rahasia langit dengan sembunyi-sembunyi, akan
tetapi terkadang panah api tersebut dilemparkan setelah jin memperoleh rahasia
langit. Maka jin kemudian membawa rahasia tersebut kepada dukun, akan tetapi
diubah dengan kedustaan, atau ditambah dengan 100 kedustaan. Dukun kemudian
mengagungkan jin karenanya, dan pengagungan tersebut ialah bentuk ibadah
manusia atas jin.
Adapun sebelum diutusnya Nabi ‘alaihish shalatu wa sallam banyak
rahasia langit yang beredar, akan tetapi pasca pengutusan Nabi alahish shalatu wa sallam langit dijaga dengan lebih ketat, karena Al Qur’an dan
wahyu telah turun, maka rahasia langit dijaga agar tidak ada yang menyerupai
wahyu dan nubuwwah. Hingga wafatnya Nabi alaihish shalatu wa sallam rahasia langit kembali beredar akan tetapi hanya
sedikit dibandingkan sebelum diutusnya Nabi. Maka dapat disimpulkan bahwa
kondisi rahasia langit terbagi menjadi tiga :
1.
Sebelum pengutusan Nabi alaihish
shalatu wa sallam: rahasia langit banyak beredar
2.
Setelah pengutusan Nabi alaihish
shalatu wa sallam: jin tidak mendapat rahasia langit
kecuali sangat jarang terjadi, itu pun bukan merupakan wahyu dari Allah Jalla wa ‘Alla
3. Setelah wafatnya Nabi alaihish shalatu wa sallam: rahasia langit kembali beredar, akan tetapi tidak
sebanyak sebelumnya, karena langit dijaga ketat dengan panah api. Allah Jalla wa ‘Ala menjelaskan hal tersebut dalam banyak ayat Al Qur’an,
mengenai bintang-bintang dan panah api yang dilemparkan kepada jin, sebagaimana
firman Allah (yang artinya), “Kecuali syaithan yang mencuri-curi (berita) yang dapat
didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang
terang.” (QS. Al Hijr : 18)[9]
Hanya
Allah yang Mengetahui Perkara Ghaib
Ahmad bin Abdul Halim Al Harroni rahimahullah membagi perkara ghaib menjadi dua jenis, yaitu:
Pertama, ghaib muthlaq, yang tidak diketahui oleh seluruh
makhluq. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seorangpun tentang yang ghaib itu”
(QS. Al Jin : 26)
Kedua, ghaib muqayyad yang tidak diketahui kecuali oleh
sebagian makhluk dari kalangan malaikat, jin, manusia dan yang menyaksikannya.
Maka hal ini menjadi ghaib bagi sebagian makhluk, namun tidak ghaib bagi yang
menyaksikannya. [10]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy rahimahullahu ta’ala menjelaskan, “Sesungguhnya hanya Allah Ta’ala saja
yang mengetahui perkara ghaib, maka barangsiapa yang mengaku mengetahui perkara
ghaib maka ia telah menjadi sekutu bagi Allah, baik berupa perdukunan, ramalan,
dan sejenisnya. Atau barangsiapa yang membenarkan perkataan tersebut maka ia
telah menjadikan sekutu bagi Allah dalam kekhususan-Nya, dan ia telah
mendustakan Allah dan Rasul-Nya.[11]
Hukum
Mempercayai Zodiak
Zodiak atau sering diistilahkan dengan
astrologi (ilmu
ta’tsir), merupakan bagian dari ilmu nujum.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ta’ala kembali menjelaskan berkaitan dengan ilmu ta’tsir ini,
“Ilmu ta’tsir (astrologi) terbagi menjadi tiga, yaitu:
Pertama, keyakinan bahwa bintang-bintang memiliki pengaruh atas
seseorang, dalam arti bahwa bintang-bintang tersebut mampu menciptakan kejadian
dan musibah. Maka hal tersebut merupakan kesyirikan akbar, karena barangsiapa
yang menyerukan bahwa selain Allah ada pencipta lain, maka ia melakukan syirik
akbar. Hal tersebut juga menjadikan pencipta (yaitu Allah Ta’ala) tunduk pada
salah satu makhluq-Nya (yaitu bintang-bintang).
Kedua, keyakinan bahwa bintang-bintang menjadi sebab bagi
sesuatu yang belum terjadi, dan hal tersebut ditunjukkan melalui pergerakannya,
peralihannya, atau pergantian tertentu dari bintang. Misalnya perkataan ‘Karena
bintang ini bergerak seperti ini, maka itu artinya orang ini hidupnya akan
sial’, atau ‘Karena orang ini lahir saat bintang berada dalam posisi ini, maka
ia akan menjadi orang yang bahagia’. Maka hal semacam ini termasuk menjadikan
ilmu perbintangan sebagai sarana untuk meramal perkara ghaib, dan perbuatan ini
termasuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: ‘Tidak ada
seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali
Allah’” (QS. An Naml : 65)
Ketiga, keyakinan bahwa bintang-bintang menjadi sebab
terjadinya kebaikan atau keburukan. Yaitu dengan menyandarkan segala sesuatu
yang terjadi sebagai akibat pergerakan bintang, dan hal tersebut dilakukan
hanya jika sesuatu tersebut telah terjadi. Maka perbuatan semacam ini tergolong
syirik ashghar.[12]
Semoga Allah memberi taufik.
Penulis: Yhouga Ariesta
[1] HR.
Muslim [2230] tanpa lafadz “..kemudian ia membenarkan perkataannya..” Syaikh
Shalih Al Fauzanhafizhahullahu
ta’ala menjelaskan makna “tidak diterima shalatnya” dengan
“tidak diberi pahala shalatnya”. Sehingga shalat tetap wajib bagi orang
tersebut. Wallahu a’lam. (lihat Al
Mulakhash fi Syarh Kitab At Tauhidhal.
213 cet. Darul Ashimah)
[2] HR.
Al Hakam [I/8] dishahihkan dan disepakati oleh Adz Dzahabi dan Al Albani dalam Al Irwa’ [2006]
[6] Ibnu
Shayyad, namanya Shaafi, sebagian pendapat mengatakan namanya Abdullah bin
Shayyad, atau Shaa’id. Ia adalah seorang Yahudi penduduk Madinah, sebagian
pendapat mengatakan ia bahkan seorang Anshar. Ia masih kecil saat kedatangan
Nabi shallallaahu
alaihi wa sallam ke Madinah, sebagian pendapat mengatakan
ia kemudian masuk Islam. Dikatakan bahwa Ibnu Shayyad ialah Dajjal, ia
terkadang mampu meramal, sebagian orang kemudian membenarkannya dan sebagian
yang lain mendustakannya. Maka beritanya segera tersebar, dan orang-orang
menyangka ia adalah Dajjal. Nabi shallallaahu
alaihi wa sallamkemudian menemui Ibnu Shayyad untuk
mengklarifikasi kebenaran hal tersebut (lihat HR. Bukhari 1355) Ibnu Shayyad
tetap hidup setelah Nabi shallallaahu
alaihi wa sallam wafat, namun keberadaannya tidak
diketahui setelah itu. Para ulama, semisal Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
13/328, menjalaskan bahwa Ibnu Shayyad ialah salah satu diantara Dajjal, akan
tetapi bukanlah Dajjal akbar. Wallahu a’lam. (Man Huwa Ibnu Shayyad?, Syaikh
Muhammad Shalih Munajjid, www.islam-qa.com)
[8] Al Qoulul Mufid Syarh Kitab At
Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin, I/332, cet. Darul Aqidah
[9] At Tamhid fi Syarh Kitab At
Tauhid hal. 318-319. Syaikh Shalih bin Abdul
‘Azis Alu Syaikh, cet. Darut Tauhid
[11] Al Qoulus Sadiid fi Maqashid At
Tauhid hal. 80, Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As Sa’diy, cet. Darul Aqidah
0 comments:
Post a Comment