Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu, yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. [al-Ahzâb/33:21].
RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM JUGA BERCANDA
Sebagai manusia biasa, kadang kala beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bercanda. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sering mengajak istri, dan para sahabatnya bercanda dan bersenda gurau,
untuk mengambil hati, dan membuat mereka gembira. Namun canda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berlebih-lebihan, tetap ada batasannya.
Bila tertawa, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melampaui batas tetapi
hanya tersenyum. Begitu pula, meski dalam keadaan bercanda, beliau tidak
berkata kecuali yang benar.
Dituturkan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّه صلىاللّه عليه وسلم مُستَجْمِعًا قَطُّ ضَا حِكًا حَتَّى تُرَى مِنْهُ
لَهَوَاتُهُ إِنَمَا كَانَ يَتَبَسَّمُ
Aku belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan lidahnya, namun
beliau hanya tersenyum.[1]
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, para
sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai,
Rasulullah! Apakah engkau juga bersenda gurau bersama kami?” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Betul, hanya saja aku selalu berkata
benar. [2]
BEBERAPA CONTOH CANDA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA
SALLAM
1. Anas Radhiyallahu ‘anhu menceritakan salah satu
bentuk canda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanggilnya dengan sebutan:
يَا ذَا الاُّ ذُ نَيْنِ
Wahai, pemilik dua telinga! [3]
2. Anas Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, Ummu
Sulaim Radhiyallahu ‘anha memiliki seorang putera yang bernama Abu ‘Umair.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering bercanda dengannya setiap kali
beliau datang. Pada suatu hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang
mengunjunginya untuk bercanda, namun tampaknya anak itu sedang sedih. Mereka
berkata: “Wahai, Rasulullah! Burung yang biasa diajaknya bermain sudah mati,”
lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda dengannya, beliau
berkata:
يَا اَبَا عُميرٍ مَا
فَعَلَ النُغَيْرُ
“Wahai Abu ‘Umair, apakah gerangan yang sedang
dikerjakan oleh burung kecil itu?” [4]
3. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bercerita,
ada seorang pria dusun bernama Zahir bin Haram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sangat menyukainya. Hanya saja tampang pria ini jelek.
Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menemuinya ketika ia sedang menjual barang dagangan. Tiba-tiba
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memeluknya dari belakang, sehingga ia
tidak dapat melihat beliau. Zahir bin Haram pun berseru: “Lepaskan aku!
Siapakah ini?”
Setelah menoleh iapun mengetahui, ternyata yang
memeluknya ialah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka iapun tidak
menyia-nyiakan kesempatan untuk merapatkan punggungnya ke dada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
berkata: “Siapakah yang sudi membeli hamba sahaya ini?”
Dia menyahut,”Demi Allah, wahai Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian aku tidak akan laku dijual!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membalas:
“Justru di sisi Allah l engkau sangat mahal harganya!” [5]
4. Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan berkata: “Wahai Rasulullah, bawalah aku?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata: “Kami akan membawamu di atas anak onta.” Laki-laki itu berkata:
“Apa yang bisa aku lakukan dengan anak onta?” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata: “Bukankah onta yang melahirkan anak onta?” [6]
5. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
sering kali bercanda dan menggoda Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Suatu kali beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepadanya: “Aku tahu kapan engkau suka kepadaku dan kapan engkau marah
kepadaku,” Aku
(‘Aisyah) menyahut: “Darimana engkau tahu?” Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Kalau engkau suka kepadaku engkau akan
mengatakan, ‘Tidak, demi Rabb Muhammad,’ dan kalau engkau marah kepadaku engkau
akan mengatakan, “Tidak, demi Rabb Ibrahim”. Aku (‘Aisyah) menjawab: “Benar,
demi Allah! Tidaklah aku menghindari melainkan namamu saja.”[7]
6. Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menceritakan:
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjulurkan lidahnya bercanda
dengan al-Hasan bin Ali Radhiyallahu 'anhu. Ia pun melihat merah lidah beliau,
lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.” [8]
CANDA YANG DIBOLEHKAN
Ada kalanya kita mengalami kelesuan dan ketegangan
setelah menjalani kesibukan. Atau muncul rasa jenuh dengan berbagai rutinitas
dan kesibukan sehari-hari. Dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan
penyegaran dan bercanda. Kadang kala kita bercanda dengan keluarga atau dengan
sahabat. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat manusiawi dan dibolehkan. Begitu
pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga melakukannya. Jika kita
ingin melakukannya, maka harus memperhatikan beberapa hal yang penting dalam
bercanda.
1. Meluruskan Tujuan.
Yaitu bercanda untuk menghilangkan kepenatan, rasa
bosan dan lesu, serta menyegarkan suasana dengan canda yang dibolehkan.
Sehingga kita bisa memperoleh gairah baru dalam melakukan hal-hal yang
bermanfaat.
2. Jangan Melewati Batas.
Sebagian orang sering kebablasan dalam bercanda
hingga melanggar norma-norma. Dia mempunyai maksud buruk dalam bercanda, sehingga
bisa menjatuhkan wibawa dan martabatnya di hadapan manusia. Orang-orang akan
memandangnya rendah, karena ia telah menjatuhkan martabatnya sendiri dan tidak
menjaga wibawanya. Terlalu banyak bercanda akan menjatuhkan wibawa seseorang.
3. Jangan Bercanda Dengan Orang Yang Tidak Suka
Bercanda.
Terkadang ada orang yang bercanda dengan seseorang
yang tidak suka bercanda, atau tidak suka dengan canda orang tersebut. Hal itu
akan menimbulkan akibat buruk. Oleh karena itu, lihatlah dengan siapa kita
hendak bercanda.
4. Jangan Bercanda Dalam Perkara-Perkara Yang
Serius.
Ada beberapa kondisi yang tidak sepatutnya bagi
kita untuk bercanda. Misalnya dalam majelis penguasa, majelis ilmu, majelis
hakim, ketika memberikan persaksian, dan lain sebagainya.
5. Hindari Perkara-Perkara Yang Dilarang Allah
Subhanahu Wa Ta'ala Saat Bercanda.
Tidak boleh bercanda atau bersenda gurau dalam
perkara yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, di antaranya sebagai
berikut.
- Menakut-nakuti seorang muslim dalam bercanda.
Ada orang yang bercanda dengan memakai sesuatu untuk menakut-nakuti temannya.
Misalnya, seperti memakai topeng yang menakutkan pada wajahnya, berteriak dalam
kegelapan, atau menyembunyikan barang milik temannya, atau yang sejenisnya.
Perbuatan seperti ini tidak dibolehkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
لاَ يَأْ خُذَنَّ
أحَدُكُمْ مَتَا عَ أَخِيهِ لاَ عِبًا وَلاَ جَادًّا
Janganlah salah seorang dari kalian mengambil
barang milik saudaranya, baik bercanda maupun bersungguh-sungguh.[9]
Pernah terjadi, ketika salah seorang sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang tidur, datanglah seseorang lalu mengambil
cambuknya, dan menyembunyikannya. Pemilik cambuk itupun merasa takut. Sehingga
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَيَحِلُّ لِمُسْلِمٍ
أَنْ يُرَوِّعَ مُسلِمًا
Tidak halal bagi seorang muslim membuat takut
muslim yang lain.[10]
Intinya, tidak boleh menakuti-nakuti seorang
muslim meskipun hanya untuk bercanda, terlebih lagi jika dengan
sungguh-sungguh.
- Berdusta saat bercanda.
Banyak orang yang dengan sesuka hatinya bercanda,
tak segan berdusta dengan alasan bercanda. Padahal berdusta dalam bercanda ini
tidak dibolehkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْت فِي
رَبَضِ الْجَنّّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كََانَ مُحقًّا وَبِبَيْتٍ فِي
وَسَط الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِ بَ وَإِنْ كَانَ مَازِ حًا وَبِبَيتِ فِي
أَغلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
Aku menjamin dengan sebuah istana di bagian tepi
surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang
benar, sebuah istana di bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta
meski ia sedang bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seorang yang
memperbaiki akhlaknya.
Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, beliau tetap berkata jujur meskipun sedang bercanda. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي لأَمْزَحُ وَلاَ
أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًا
Sesungguhnya aku juga bercanda, namun aku tidak
mengatakan kecuali yang benar. [11]
Oleh karena itu, tidak boleh berdusta ketika
bercanda. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan ancaman
terhadap orang yang berdusta untuk membuat orang lain tertawa dengan sabda
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :
وَيْلٌ للَّذِي يُحَدِّ ثُ
فَيَكْذِبُ لِيُضْخِكَ بِهِ الْقَوْمَ ويْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk
membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia. [12]
Apalagi bila dalam candanya itu ia menyebut aib
dan rahasia orang lain, atau mencela dan mengejek orang lain.
- Melecehkan sekelompok orang tertentu.
Misalnya bercanda dengan melecehkan orang-orang
tertentu, penduduk daerah tertentu, atau profesi tertentu, atau bahasa
tertentu, atau menyebut aib mereka dengan maksud untuk bercanda dan membuat
orang lain tertawa. Perbuatan ini sangat dilarang.
- Canda yang berisi tuduhan dan fitnah terhadap
orang lain.
Kadang kala ini juga terjadi, terlebih bila canda
itu sudah lepas kontrol. Sebagian orang bercanda dengan temannya lalu ia
mencela, memfitnahnya, atau menyifatinya dengan perbuatan keji. Seperti ia
mengatakan kepada temannya, ‘hai anak hantu,’ dan kata-kata sejenisnya untuk
membuat orang tertawa. Sangat disayangkan, hal seperti ini nyata terjadi di
tengah orang-orang kebanyakan dan jahil. Oleh karena itu, hendaklah kita jangan
keterlaluan dalam bercanda, sehingga melampui batas.
6. Hindari Bercanda Dengan Aksi Dan Kata-Kata Yang
Buruk.
Banyak orang yang tidak menyukai bercanda seperti
ini. Dan seringkali berkembang menjadi pertengkaran dan perkelahian. Sering
kita dengar kasus perkelahian yang terjadi berawal dari canda. Maka tidak
sepatutnya bercanda dengan aksi kecuali dengan orang yang sudah terbiasa dan
bisa menerima hal itu. Sebagaimana para sahabat saling melempar kulit semangka
setelah memakannya. [13]
Adapun bercanda dengan kata-kata yang buruk tidak
dibolehkan sama sekali. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
وَقُل لِّعِبَادِي
يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ
الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا
Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “hendaklah
mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu
menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh
yang nyata bagi manusia”. [al-Isrâ`/17:53].
7. Tidak Banyak Tertawa.
Banyak orang yang tertawa berlebihlebihan sampai
terpingkal-pingkal ketika bercanda. Ini bertentangan dengan sunnah. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa,
beliau bersabda :
وَيْلٌ للَّذِي يُحَدِّ ثُ
فَيَكْذِبُ لِيُضْخِكَ بِهِ الْقَوْمَ ويْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya
banyak tertawa dapat mematikan hati.”
Seperti yang telah dijelaskan di atas dari ‘Aisyah
Radhiyallahu 'anha. Banyak tertawa dapat mengeraskan hati dan mematikannya.
8. Bercanda Dengan Orang-Orang Yang
Membutuhkannya.
Seperti dengan kaum wanita dan anakanak. Itulah
yang dilakukan oleh Nabi Shalalllahu 'alaihi wa sallam, yaitu sebagaimana yang
beliau lakukan terhadap ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha dan al Hasan bin Ali, serta
seorang anak kecil bernama Abu ‘Umair.
9. Jangan Melecehkan Syiar-Syiar Agama Dalam
Bercanda.
Umpamanya celotehan dan guyonan para pelawak yang
mempermainkan simbol-simbol agama, ayat-ayat al-Qur‘an dan syiarsyiarnya, wal
iyâdzu billâh! Sungguh perbuatan itu bisa menjatuhkan pelakunya dalam
kemunafikan dan kekufuran.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ
أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُم بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ ۚ قُلِ
اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَّا تَحْذَرُونَ وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ
لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ
وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan
terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam
hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekanejekanmu (terhadap
Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti.
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan
bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayatayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolokolok?”. [at-Taubah/9:64-65]
Dan mengangungkan syiar agama merupakan tanda
ketakwaan hati. Allah berfirman:
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ
شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah,
maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. [al-Hajj/22:32].
Demikianlah, semoga dengan tulisan ini kita bisa
mengetahui kedudukan bercanda dalam pandangan Islam, mengetahui canda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan batasan-batasan yang dibolehkan
dalam bercanda. Sehingga kita dapat membedakan antara bercanda yang dibolehkan
dan yang tidak dibolehkan.
Maraji‘:
1. Tafsîr al-Qur‘ânil-’Azhîm, Imam Ibnu Katsîr.
2. Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn,
Syaikh Salîm bin ‘Id al-Hilâli.
3. Durruts-Tsamîn min Riyâdhish-Shâlihîn,
‘Abdul-’Azîz Sa’ad al-’Utaibi.
4. Mausû’ah al-Adabil-Islâmiyyah, ‘Abdul Azîz bin
Fathis-Sayyid Nadâ, Dâruth-Thayyibah, Cetakan Kedua, Tahun 1425 H – 2004 M.
5. Shahîh al-Jami’ish-Shaghir, Syaikh Muhammad
Nâshiruddîn al-Albâni, al-Maktab al-Islami, Cetakan Ketiga, Tahun 1410 H –
1990.
6. Silsilatul Ahâdits Shahîhah, Syaikh Muhammad
Nâshiruddîn al-Albâni, disusun oleh Syaikh Abu ‘Ubaidah Masyhur Hasan Salman,
Maktabatul-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Pertama.
7. Sirah Shahîhah, Dhiyâ al-‘Umari. 8. Sunan Abu
Dawud, Tashih: Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, dan disusun oleh Syaikh
Abu ‘Ubaidah Masyhur Hasan Salman, Maktabatul-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Pertama.
9. Yaumun fî Baiti Rasulillah, ‘Abdul-Malik bin
Muhammad al-Qâsim, Darul-Qasim, Cetakan Pertama, Tahun 1419 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun
XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dan Imam
Muslim.
[2]. Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang
shahîh.
[3]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/117, 127, 242,
260), Abu Dawud (5002), at-Tirmidzi (1992). Lihat Shahîh al- Jâmi’ (7909).
[4]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
[5]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/161),
at-Tirmidzi dalam asy-Syamil (229), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (3604).
[6]. Abu Dawud (4998), dan at-Tirmidzi (1991) dari
Anas. Shahîh Abu Dawud (4180).
[7]. Muttafaqun ‘Alaihi, Shahîh al-Bukhâri,
sebagaimana terdapat dalam Fathul-Bari (9/325), Shahîh Muslim (3/1890, hadits
nomor 2439).
[8]. Lihat Silsilah Ahâdîts Shahîhah, nomor hadits
70.
[9]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5003), dan
at-Tirmidzi (2161). Lihat Shahîh Abu Dawud (4183).
[10]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5004). Lihat
Shahîh Abu Dawud (4184).
[11]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam
al-Kabir (XII/13443). Lihat Shahîh al-Jâmi’ (2494).
[12]. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/5), Abu Dawud
(4990), at-Tirmidzi (2315). Lihat Shahîh al-Jâmi’ (7126).
[13] Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam
al-Adabul-Mufrad, hlm. 41. Lihat as-Silsilah ash-Shahîhah (436).
www.almanhaj.or.id
Thursday, November 24, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment